Wednesday, December 10, 2008
ANTARA KEPALA KELUARGA DAN KEPALA RUMAH TANGGA
Tuesday, December 9, 2008
MENENTUKAN MOMENTUM MENIKAH
Friday, November 28, 2008
COOKING WITH LOVE
ISTRI ≠ PEMBANTU RUMAH TANGGA..???!!!
Saya mencoba menduga-duga maksud dan tujuan kenapa tema tersebut diambil, menurut saya tema tersebut diangkat oleh panita bisa jadi berangkat dari fenomena dan realita yang ada bahwa istri seakan-akan menjadi pembantu rumah tangga karena mengurus semua keperluan rumah tangga mulai mencuci, memasak, menyetrika, merawat anak, melayani bayi, melayani suami dlll, persis seperti profesi pembantu rumah tangga yang mengurus seluruh kebutuhan rumah tangga sendirian, dan baru tidur setelah semua selesai, bahkan mungkin lebih rendah dari seorang pembantu karena juga harus melayani suami dari sisi “bathin”. Realitas itu memang mungkin benar adanya, sehingga dengan kajian tersebut panitia ingin membangkitkan kesadaran para suami dan kesadaran para istri, yaitu istri bukanlah pembantu rumah tangga yang harus mengurus semua keperluarn rumah tangga. Dari sisi tersebut saya sepakat, karena memang saya memahami sendri realitas di masyarkat bahkan di kalangan aktivis da’wah pun ada presepsi bahwa pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab istri, makanya dulu sewaktu saya masih bujangan dan sering bercanda dengan temen-temen saya jika menggoda ada seorang ikhwan bujangan yang udah punya rumah, dan punya perabotan rumah tangga lengkap tapi belum beristri maka kita pasti menggoda dengan mengatakan “wah tinggal cari operatornya nih”, meskipun itu gurauan tetapi kata-kata cari operatornya akan dinisbahkan dengan cari istri, karena istri identik dengan pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan rumah tangga identik dengan peran istri. Sebenarnya pun dalam Islam tugas utama istri bukan sekedar menjadi pengurus rumah tetapi punya peran pendidikan dan sosial serta da’wah, sehingga jika kita lihat dalam dalam surah An-Nur tentang tata cara pergaulan dalam rumah disebutkan dengan istilah hamba sahaya, yang sesungguhnya hamba sahaya itu adalah pembantu rumah tangga dalam istilah sekarang. Jadi saat itu pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dilakukan oleh para hamba sahaya. Dari sisi tersebutlah saya sepakat atas tema kajian tersebut.
Cuman saya melihat jika para istri memahami persoalan tersebut secara letterleg sudut pandang fiqih maka akan menjadi boomerang tersendiri bagi para istri. Apa itu, yaitu lunturnya rasa cinta suami kepada istri. Kekwatiran saya selepas kajian tersebut adalah para istri akan berontak dan tidak mau lagi mengerjakan pekerjaan rumah tangga serta menyerahkan semuanya kepada pembantu, maka jika hal tersebut terjadi maka yang akan muncul adalah prahara rumah tangga baru.
Yang harus dipahami adalah adanya naluri seorang suami yang ingin dilayani oleh istrinya. Coba tengok banyak kasus perceraian dan perselingkuhan yang terjadi akibat para suami merasa istrinya sudah tidak bisa melayaninya dengan baik. Saya sering melihat temen-temen kantor saya sangat merasa bangga jika mereka makan bekal buatan istri mereka saat makan siang, yang mereka bawa dari rumah. Meski lauknya sederhana cuman karena yang memasakan adalah orang-orang yang mereka cintai maka semangatnya beda. Saya sendiri pun merasa bangga jika mengundang orang untuk makan di rumah saya dan masakannya dimasak langsung oleh istri saya, rasanya tuh benar-benar mantap karena merasa ada yang bisa saya banggakan kepada tamu saya. Saya pun merasa nyaman dengan baju hasil strikaan istri saya jika saya bandingkan dengan memakai baju hasil setrikaan laundry, apalagi saat dipuji temen kantor karena setrikaan istri dinilai rapi. Lalu gimana kalau para istri itu tidak mau mengerjakan sesuatu yang sifatnya melayani para suaminya…? Saya rasa selama kegiatan atau aktivitas melayani istri tersebut dilandasi dengan rasa ukhuwah dan cinta maka sebenarnya tidak ada yang merasa dirugikan. Meskipun istri saya melakukan semua kegiatan rumah tangga yang ada saya tidak pernah menganggap istri saya adalah pembantu, karena itu jika istri saya merasa capek atau lelah ya saya tidak memaksa untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dan bahkan saya menawarkan diri untuk menggantikannya, begitu pula kadangkala istri saya memaksakan diri untuk melayani saya meskipun sekedar bikin teh panas meskipun saat itu saya tidak memintanya bahkan saya menolaknya, tapi untuk menghargai jerih payah dan niat baiknya serta memberikan kesempatan istri saya untuk berbuat baik akhirnya saya terima saja teh buatan istri saya itu. Bahkan seringkali istri saya memaksakan diri untuk memasak makanan walaupun dia sangat capek sekali, karena itu dia ingin lakukan untuk mewujudkan rasa cintanya, maka sebagai suami pun kita harus memberikan apresiasi. Karena sesungguhnya bagi sebagian para istri pelayanan kepada suami adalah bentuk perhatian istri dan wujud cinta-nya pada suami. Jadi sebenarnya selama pekerjaan istri dalam melakukan pekerjaan – pekerjaan rumah tangga dalam niatan untuk wujudakan rasa cinta dan ukhuwah maka presepsi istri adalah pembantu tidak akan pernah muncul dalam benak seorang suami.
Oleh karena itu agar kesan bahwa suami seolah-olah menganggap istri adalah pembantu rumah tangga bisa dihilangkan jika :
landasi semuanya dengan rasa cinta dan ukhuwah
suami harus menyediakan sarana dan prasarana yang bisa meringankan pekerjaan rumah tangga jika memang suami tidak mampu mencarikan seorang pembantu rumah tangga
suami harus siap membantu istri dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga sebagai wujud rasa ta’awun dan cinta kepada istri
pilah-pilah dan sepakati bersama, pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan oleh oleh orang lain dan pekerjaan rumah tangga apa yang harus di tangani langsung oleh istri sebagai sarana istri untuk mengaktualisasikan rasa cinta dan sayang kepada suami
Jadi bagi saya judul kajian itu harus diberi catatan khusus bahwa itu sebagai bahan tadzkirah untuk para suami yang selama ini terlalu membebankan berlebihan pekerjaan rumah tangga kepada istri dan perlu diberikan pemahaman kepada para istri bahwa melayani suami dan melaksanakan pekerjaan rumah tangga bisa dijadikan sebagai saran aktualisasi rasa cinta kepada suami
ISTRIKU....SAUDARAKU
Sebenarnya hukum (fiqih) pernikahan (munakahat) hanya merupakan suatu hokum khusus yang dilingkup suatu hukum yang bersifat universal yaitu fiqih ukhuwah. Artinya, dalam hubungan suami istri itu ada hak-hak ukhuwah yang harus ditegakan. Istri bagi suami merupakan saudaranya seaqidah yang harus dipenuhi hak-hak sebagai seorang saudara. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Hujurat ayat 10 “ sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara….”, hubungan suami dan istri dalam lingkup yang lebih besar akan ada hubungan sesame mukmin yang bersaudara, maka istri adalah saudara mukmin bagi suami dan suami pun saudara mukmin bagi seorang Istri. Karena suami istri adalah saudara mukmin maka hak-hak dan kewajiban terhadapap saudara yang mukmin harus ditunaikan seperti ta’aruf, tafahum, ta’awun, takaful, dan itsar.
Maka sesungguhnya jika rukun-rukun ukhuwah ditegakkan dalam hubungan suami-istri maka insyaallah tidak ada presepsi siapa melayani siapa atau siapa dilayani siapa tetapi, yang ada adalah semangat untuk saling melayani satu sama lain, sebagaimana tingkatan tertinggi dalam ukhuwah adalah itsar yaitu mengutamakan saudaranya daripada diri sendiri maka jika dibangun semangat tersebut maka insyaallah kasus KDRT oleh suami terhadap istri atau KDRT oleh istri terhadapa suami tidak akan terjadi.
Jadi sesungguhnya istri kita adalah saudara mukmin kita yang memiliki hak untuk dipenuhi hak-hak ukhuwah sebagai seorang mukmin, insyaallah dengan semangat ukhuwah maka keharmonisan suami istri akan tetap terjaga, dengan semangat ukhuwah maka suami maupun istri saling menjaga perasaan satu dengan yang lain, senantiasa terpacu untuk saling memberi dan saling melayani yang terbaik, dan kesemuanya itu akan bermuara pada nilai ibadah atas hubungan suami istri tersebut, itulah keluarga muslim sesungguh….jadi jangan lupa bahwa istri kita adalah saudara kita maka penuhilah hak-hak saudaramu itu…
Friday, July 25, 2008
NAFKAH ISTRI DAN HARTA ISTRI
Khusus masalah nafkah, sebenarnya nafkah sendiri merupakan kewajiban suami dalam bentuk harta benda untuk diberikan kepada isteri. Segala kebutuhan hidup isteri mulai dari makanan, pakaian dan tempat tinggal, menjadi tanggungan suami.
Dengan adanya nafkah inilah kemudian seorang suami memiliki posisi qawam (pemimpin) bagi isterinya, sebagaimana firman Allah SWT:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa': 34)
Namun yang seringkali terjadi, sebagian kalangan beranggapan bahwa nafkah suami kepada isteri adalah biaya kehidupan rumah tangga saja. Pemandangan sehari-harinya adalah suami pulang membawa amplop gaji, lalu semua diserahkan kepada isterinya.
Cukup atau tidak cukup, pokoknya ya harus cukup. TInggallah si isteri pusing tujuh keliling, bagaimana mengatur dan menyusun anggaran belanja rumah tangga. Kalau isteri adalah orang yang hemat dan pandai mengatur pemasukan dan pengeluaran, suami tentu senang.
Yang celaka, kalau isteri justru kacau balau dalam memanaje keuangan. Alih-alih mengatur keuangan, yang terjadi justru besar pasak dari pada tiang. Ujung-ujungnya, suami yang pusing tujuh keliling mendapati isterinya pandai membelanjakan uang, plus hobi mengambil kredit, aktif di arisan dan berbagai pemborosan lainnnya.
Padahal kalau kita kembalikan kepada aturan asalnya, yang namanya nafkah itu lebih merupakan 'gaji' atau honor dari seorang suami kepada isterinya. Sebagaimana 'uang jajan' yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya.
Adapun kebutuhan rumah tangga, baik untuk makan, pakaian, rumah, listrik, air, sampah dan semuanya, sebenarnya di luar dari nafkah suami kepada isteri. Kewajiban mengeluarkan semua biaya itu bukan kewajiban isteri, melainkan kewajiban suami.
Kalau suami menitipkan amanah kepada isterinya untuk membayarkan semua biaya itu, boleh-boleh saja. Tetapi tetap saja semua biaya itu belum bisa dikatakan sebagai nafkah buat isteri. Sebab yang namanya nafkah buat isteri adalah harta yang sepenuhnya menjadi milik isteri.
Kira-kira persis dengan nafkah di awal sebelum terjadinya akad nikah, yaitu mahar atau maskawin. Kita tahu bahwa sebuah pernikahan diawali dengan pemberian mahar atau maskawin. Dan kita tahu bahwa mahar itu setelah diserahkan akan menjadi sepenuhnya milik isteri.
Suami sudah tidak boleh lagi meminta mahar itu, karena mahar itu statusnya sudah jadi milik isteri. Kalau seandainya isteri dengan murah hati lalu memberi sebagian atau seluruhnya harta mahar yang sudah 100% menjadi miliknya kepada suaminya, itu terserat kepada dirinya. Tapi yang harus dipastikan adalah bahwa mahar itu milik isteri.
Sekarang bagaimana dengan nafkah buat isteri?
Kalau kita mau sedikit cermat, sebenarnya dan pada hakikatnya, yang disebut dengan nafkah buat isteri adalah harta yang sepenuhnya diberikan buat isteri. Dan kalau sudah menjadi harta milik isteri, maka isteri tidak punya kewajiban untuk membiayai penyelenggaraan rumah tangga. Nafkah itu 'bersih' menjadi hak isteri, di luar biaya makan, pakaian, bayar kontrakan rumah dan semua kebutuhan sebuah rumah tangga.
Mungkin Anda heran, kok segitunya ya? Kok matre' banget sih konsep seorang isteri dalam Islam?
Jangan heran dulu, kalau kita selama ini melihat para isteri tidak menuntut nafkah 'eksklusif' yang menjadi haknya, jawabnya adalah karena para isteri di negeri kita ini umumnya telah dididik secara baik dan ditekankan untuk punya sifat qana'ah.
Saking mantabnya penanaman sifat qana'ah itu dalam pola pendidikan rumah tangga kita, sampai-sampai mereka, para isteri itu, justru tidak tahu hak-haknya. Sehingga mereka sama sekali tidak mengotak-atik hak-haknya.
Memandang fenomena ini, salah seorang murid di pengajian nyeletuk, "Wah, ustadz, kalau begitu hal ini perlu tetap kita rahasiakan. Jangan sampai isteri-isteri kita sampai tahu kalau mereka punya hak nafkah seperti itu."
Yang lain menimpali, "Setuju stadz, kalau sampai isteri-isteri kita tahu bahwa mereka punya hak seperti itu, kita juga ntar yang repot nih ustadz. Jangan-jangan nanti mereka tidak mau masak, ngepel, nyapu, ngurus rumah dan lainnya, sebab mereka bilang bahwa itu kan tugas dan kewajiban suami. Wah bisa mejret nih kita-kita, ustadz."
Yang lain lagi menambahi, "Benar ustadz, bini ane malahan sudah tahu tuh masalah ini. Itu semua kesalahan ane juga sih awalnya. Sebab bini ane tuh, ane suruh kuliah di Ma'had A-Hikmah di Jalan Bangka. Rupanya materi pelajarannya memang sama ame nyang ustadz bilang sekarang ini. Cuman bini ane emang nggak tiap hari sih begitu, kalo lagi angot doang."
"Tapi kalo lagi angot, stadz, bah, ane jadi repot sendiri. Tuh bini kagak mao masak, ane juga nyang musti masak. Juga kagak mau nyuci baju, ya udah terpaksa ane yang nyuciin baju semua anggota keluarga.Wii, pokoknya ane jadi pusing sendiri karena punya bini ngarti syariah."
Menjawab 'keluhan' para suami yang selama ini sudah terlanjur menikmati ketidak-tahuan para isteri atas hak-haknya, kami hanya mengatakan bahwa sebenarnya kita sebagai suami tidak perlu takut. Sebab aturan ini datangnya dari Allah juga. Tidak mungkin Allah berlaku berat sebelah.
Sebab Allah SWT selain menyebutkan tentang hak-hak seorang isteri atas nafkah 'eksklusif', juga menyebutkan tentang kewajiban seorang isteri kepada suami. Kewajiban untuk mentaati suami yang boleh dibilang bisa melebihi kewajibannya kepada orang tuanya sendiri.
Padahal kalau dipikir-pikir, seorang anak perempuan yang kita nikahi itu sejak kecil telah dibiayai oleh kedua orang tuanya. Pastilah orang tua itu sudah keluar biaya besar sampai anak perawannya siap dinikahi. Lalu tiba-tiba kita kita datang melamar si anak perawan itu begitu saja, bahkan kadang mas kawinnya cuma seperangkat alat sholat tidak lebih dari nilai seratus ribu perak.
Sudah begitu, dia diwajibkan mengerjakan semua pekerjaan kasar layaknya seorang pembantu rumah tangga, mulai dari shubuh sudah bangun dan memulai semua kegiatan, urusan anak-anak kita serahkan kepada mereka semua, sampai urusan genteng bocor. Sudah capek kerja seharian, eh malamnya masih pula 'dipakai' oleh para suaminya.
Jadi sebenarnya wajar dan masuk akal kalau untuk para isteri ada nafkah 'eksklusif' di mana mereka dapat hak atas 'honor' atau gaji dari semua jasa yang sudah mereka lakukan sehari-hari, di mana uang itu memang sepenuhnya milik isteri. Suami tidak bisa meminta dari uang itu untuk bayar listrik, kontrakan, uang sekolah anak, atau keperluan lainnya.
Dan kalau isteri itu pandai menabung, anggaplah tiap bulan isteri menerima 'gaji' sebesar sejuta perak yang utuh tidak diotak-atik, maka pada usia 20 tahun perkawinan, isteri sudah punya harta yang lumayan 20 x 12 = 240 juta rupiah.
Lumayan kan?
Nah hartai tu milik isteri 100%, karena itu adalah nafkah dari suami. Kalau suami meninggal dunia dan ada pembagian harta warisan, harta itu tidak boleh ikut dibagi waris. Karena harta itu bukan harta milik suami, tapi harta milik isteri sepenuhnya. Bahkan isteri malah mendapat bagian harta dari milik almarhum suaminya lewat pembagian waris.
(Disalin dari rubrik konsultasi eramuslim.com)
Tuesday, June 17, 2008
PERAN BESAR AYAH DALAM PENDIDIKAN ANAK
Thursday, June 12, 2008
LIKE FATHER LIKE SON
Monday, June 9, 2008
MENJADI AYAH IDOLA
Saya gembira dan terharu mendengar jawaban anak saya itu, alhamdulillah berarti saya bisa menjadi ayah yang baik dan menjadi idola dihadapan anak sendiri. Tetapi muncul juga perasaan cemas di hati saya, karena menjadi ayah idola dihadapan anak-anak adalah beban berat bagi saya. Saya takut anak-anak tidak menyadari bahwa ayahnya adalah manusia biasa yang tidak bisa selalu sempurna dihadapan mereka. Selain itu dengan menjadi ayah idola bagi anak-anak menjadikan beban bagi saya untuk senantiasa memberikan contoh terbaik, dan berupaya untuk selalu tampil "sempurna".
Diantara rasa bangga dan rasa cemas sebagai ayah idola anak-anak, maka rasa cemas lebih mendominasi dalam diri saya. Karena harapan yang besar atas kesempurnaan sebagai ayah bisa memunculkan kekecewaan mendalam bagi anak-anak. Jalan satu-satunya adalah memberikan kesadaran dan pemahaman bahwa sosok ayah adalah sebagai manusia biasa yang tak luput dari kelemahan dan kesalahan. Oleh karena itu saya senantiasa mengucapkan kata maaf kepada anak saya jika saya berbuat salah atau tidak mampu memenuhi keinginan dan harapan mereka walau sekecil dan sesederhana apapun kesalahan dan kelemahan itu. Saya berupaya menjelaskan kenapa saya salah atau kenapa saya tidak bisa memenuhi harapan mereka, dengan harapan ada kesadaran bahwa ayahnya juga bisa salah, dan sebagai manusia harus mengakui kesalahan dan kelemahan itu serta berupaya untuk memperbaikinya.
Di balik rasa cemas itu, saya mencoba untuk mengambil sisi positif menjadi ayah idola bagi anak-anak. Sisi positf menjadi ayah idola adalah sebagai pemicu bagi seorang ayah untuk senantiasa menjadi inspirasi bagi anak-anaknya untuk berbuat kebaikan dan mencetak prestasi. Sehingga anak-anak adalah sumber inspirasi bagi diri seorang ayah untuk senantiasa berupaya berbuat kebaikan dan prestasi. Oleh karena itu menjadi ayah idola berarti menjadikan sosok ayah sebagai sumber inspirasi bagi anak-anak dalam berbuat dan bertindak dalam kebaikan, sekaligus menjadikan anak-anak sebagai sumber inspirasi bagi seorang ayah untuk senantiasa berbuat baik dan berprestasi dalam segala hal. Sehingga men-tarbiyah diri kita sebagai ayah secara sempurna sesungguhnya merupakan proses untuk mentarbiyah anak-anak kita. Itu semua akan terjadi jika kita mampu menjadi sosok ayah idola yaitu sosok ayah yang senantiasa menginspirasi anak-anaknya untuk berbuat baik, komitmen pada kebaikan, dan senantiasa untuk berprestasi dalam segala amal perbuatan
Wednesday, June 4, 2008
ANTARA SURABAYA - LUMAJANG ADA NILAI TARBIYAH
Setiap akhir pekan itulah tarbiyah at-tadhiyah diberikan kepada saya. Bagi saya bertemu dan berkumpul bersama anak dan istri merupakan suatu yang sangat mahal bagi saya. Pinginnya setiap minggu bisa pulang, tapi pada akhir pekan itulah agenda da'wah sering muncul. Sehingga tantangan bagi saya untuk menguji nilai tadhiyah dalam da'wah ini dalam diri saya dan keluarga saya. Karena itu kadangkala saya kurang respek jika ada seseorang yang ijin atau menolak untuk melakukan seruan dan agenda-agenda da'wah hanya karena sabtu atau ahad adalah hari keluarga dengan alasan perlu waktu dg keluarga, padahal menurut saya itu bukan suatu hal yang berat, karena mereka tiap hari masih bisa bertemu dan berkomunikasi dengan anak dan istrinya..? Bahkan ada yang tidak mau di ganggu pada hari Ahad karena menjdi acara keluarga. Sebenarnya alasan itu semua bisa diatasi jika ada nilai tadhiyah dalam diri kita dan kita mampu mengaplikasikan pemahaman at-tajarud dalam da'wah, yaitu totalitas dalam da'wah.
Ya...at-tajarud merupakan nilai tarbiyah yang lain yang saya dapatkan selama menjalani kehidupan berpisah ini. Karena selama saya ada di Surabaya maka otomatis istri saya menjadi single parent bagi anak-anak. Yang menjadi tantangannya adalah saat istri harus menghadiri suatu agenda da'wah dan anak-anak harus ditinggal maka perlu adanya pelibatan kelurga besar untuk membantu istri dalam mengasuh anak-anak. Belum lagi ini merupakan pelajaran berharga bagi anak-anak untuk belajar berkorban untuk da'wah, memahami aktivitas da'wah orang tuanya, dan bisa menyesuaikan dengan aktivitas da'wah. Inilah makna tajarud dalam da'wah yaitu bagaimana mengoptimalkan seluruh potensi keluarga untuk mendukung aktivitas da'wah sesuai dengan peran masing-masing.
Mudah-mudahan dibalik ujian ini bisa memberikan tarbiyah bagi kami sekeluarga untuk lebih istiqomah dalam da'wah. Amin
Wednesday, May 28, 2008
MAKNA MAHAR
Monday, May 26, 2008
FILOSOFI "1" DAN "0"
Dari cerita-cerita di atas saya mencoba untuk memutar ulang kenangan saya saat-saat mencari calon istri dan alasan-alasan kenapa saya memilih istri saya saat ini. Jujur saja, istri saya saat ini jauh dari kriteria saya, saya pinginnya istri saya seoarng sarjana ekonomi supaya bisa berdiskusi dengan saya, atau sarjana psikologi seperti alasan-alasan klasik temen-temen yang lain. Cuma saat saya menerima data istri saya ada pertanyaan besar dalam diri saya, yaitu apa sebenarnya yang saya cari ? ya..saya ingin mencari sesuatu yang hakiki sesuatu yang kekal sesuatu yang tak kan pernah lapuk dimakan zaman......akhirnya saya teringat dengan filosofi "1" dan "0" dan hadist Rasulullah tentang 4 sebab seorang wanita dinikahi. Akhirnya saya mencoba merenungi hadist dan filosofi tersebut, akhirnya mantap saya fokuskan untuk menilai agamanya, dan alhamdulillah sejak mulai proses "penyelidikan" sampai proses ta'aruf saya mendapatkan istri saya mempunyai nilai lebih dari sisi agamanya (semoga ini menjadi kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki). Saat itulah saya mantap untuk menikahi istri saya, dan saya teringat betul do'a yang saya ucapkan dari hati yang dalam dan tulus serta ikhlas setelah prosesi akad nikah, yang saya ucapkan dihadapan istri saya yaitu : " Ya Allah aku berlindung kepada-Mu atas segala keburukan-keburukan yang ada dalam dirinya dari segala fitnah, dan berkahilah kebaikan-kebaikan yang ada dalam dirinya". Inti dari do'a tersebut adalah saya memohon kepada Allah agar segala keburukan dan kekurangan yang ada dalam diri istri saya baik yang nampak dan tidak nampak tidak menjadi fitnah bagi diri saya dan istri saya, dan semoga segala kebaikan yang ada dalam diri istri saya, baik yang nampak maupun tidak nampak, menjadi sumber kebaikan bagi semuanya.
Setelah 5 tahun menikah kini, saya mampu memiliki istri seorang dokter meskipun dia bukan dokter, karena setiap kali saya sakit atau anak-anak sakit dia pasti hafal betul segala gejala penyakit yang biasa menimpa anggota keluarganya, dia hafal betul obat apa yang mesti diminum oleh anak atau suaminya yang sakit, dia memantau terus perkembangan kesehatan anak-anak, dia sudah menjadi "dokter keluarga" bagi saya dan anak-anak. Dia juga sekarang menjadi pendidik anak-anak dan ahli psikologi perkembangan anak-anak, dia sudah paham bagaimana pola pendidikan anak setiap masa usia mereka. Dia juga mampu menjadi juru masak yang handal bagi saya dan anak-anak. Dia juga kini menjadi perencana keuangan keluarga yang handal, dan menjadi menantu yang baik dihadapan oarang tua saya. Dia juga seorang pejuang tangguh dan mandiri, mujahidah sejati bagi saya. Saya kini merasa kaya karena memiliki seorang istri yang melebihi dari kriteria yang pernah saya impikan. Ingin mendapatkan istri yang seperti apa sebenarnya sangat tergantung pada seberapa besar usaha kita untuk menjadi "kuncup itu mekar jadi bunga".

Wednesday, March 12, 2008
ANTARA UANG BELANJA DAN UANG NAFKAH
Tetapi, saya mulai bisa membedakan antara uang belanja dan uang nafkah saat saya melihat anggaran belanja rumah tangga seorang teman. Dari sekian item anggaran yang yang diberikan ke saya, ada satu item anggaran yang menarik bagi saya. Menarik karena hanya item itu yang satu-satunya berbeda dengan item-item dalam anggaran rumah tangga saya dan anggaran rumah tangga pada umumnya, yaitu item "nafkah istri". Apa bedanya pikir saya saat itu, ternyata menurut temen saya bahwa nafkah istri berarti suami memberikan sebagian hartanya kepada istri untuk dikelola dan digunakan untuk kepentingan pribadi istrinya, sedangkan belanja istri adalah memberikan harta (uang) untuk kebutuhan hidup suami, istri, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya.
Saya mencoba untuk memahami apa yang disampaikan temen saya itu. Akhirnya saya temukan kunci jawaban untuk membedakan antara uang belanja dan uang nafkah, yaitu kemulian wanita. Antara uang belanja dan uang nafkah muncul dua kewajiban berbeda yang harus dilaksanakan seorang suami. Uang belanja adalah kewajiban suami sebagai kepala keluarga untuk mencukupi kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya dengan layak, sedangkan uang nafkah adalah kewajiban suami sebagai seorang lelaki yang qowam untuk menjaga kemualian seorang wanita yang menjadi istrinya.
Dalam uang nafkah itu terkandung kemulian wanita dari seorang istri. Uang nafkah menjadikan istri bukan seorang "pengemis" dihadapan suaminya jika istri ingin memenuhi hajat pribadinya. Uang nafkah adalah hak yang harus diterima seorang istri, dan istri memiliki hak penuh untuk mengelola dan menggunakan untuk kepentingan pribadinya. Sehingga istri bisa memenuhi kebutuhan pribadinya dengan tetap terjaga kemulian dan kehormatannya tanpa harus "mengemis" dihadapan suami atau harus bekerja keras di luar rumah.
Jadi menurut saya, jika suami hanya memberikan uang belanja bulanan saja maka kewajibannya sebagai suami belum lengkap bahkan cenderung tidak menghargai istrinya, karena memberi uang belanja tanpa uang nafkah seakan menjadikan istri sebagai pembantu rumah tangga kita saja. Oleh karena itu meskipun istri kita bekerja, uang belanja dan uang nafkah tetap harus kita berikan kepada istri kita walaupun sedikit, karena keduanya merupakan hak istri dan kewajiban bagi suami. Jika sekarang para suami hanya masih memberikan uang belanja saja maka harus dilengkapi kewajibannya sebagai seorang suami yang qowam dengan memberikan uang nafkah walaupun sedikit dan meskipun istri kita bekerja. Karena dalam uang nafkah itu ada kemulian seorang wanita yang menjadi istri kita, dan ada ke-qowaman kita sebagai seorang suami dan laki-laki.