Friday, November 28, 2008

COOKING WITH LOVE

Memasak bagi sebagian orang adalah suatu yang mengasyikkan. Bahkan bisa menjadi hobi. Namun bagi sebagian yang lain, memasak adalah sesuatu yang sulit dan rumit untuk dilakukan. Berkutat dengan bumbu dapur yang sangat banyak dan membingungkan menjadi hal yang berat bagi orang yang tidak suka memasak.Sebagai seorang muslimah, mau tidak mau kita harus bisa memasak. Minimal masakan tradisional untuk makan kita sehari-hari. Sudah cukup ketika kita masih kuliah atau beraktivitas di kampus, kita tidak memperdulikan masalah-masalah seperti ini. Mungkin dianggap remeh. Namun saat menjadi seorang istri, memasak dan mempelajarinya menjadi kebutuhan bagi muslimah setelah berumah tangga, apalagi jika tak punya khodimat alias tukang masak.Ada beberapa hal yang harus diingat berkaitan dengan memasak:
Pertama, bahwa memasak membutuhkan kecerdasan, pengetahuan yang luas, dan ingatan yang kuat. Karena memasak tentu tidak asal mencampurkan semua bahan kedalam panci. Atau tidak sembarang menumis. Kita juga perlu belajar bagaimana menggambarkan rasa. Jika daging dimasak bersama wortel dan kol apakah rasa yang dihasilkan, bumbu apa saja yang cocok untuk memasak daging. Ibu kita mungkin pernah mengajarkan kita memasak, dan mengatakan bahwa ada ‘bumbu dasar’ dalam memasak. Bumbu inilah yang harus kita kuasai dan pahami karena akan menjadi dasar untuk memasak masakan apa saja. Maka dengan demikian kita memasak tidak akan tergantung pada buku masakan.
Kedua, memasak akan menjadi suatu kewajiban bagi seorang istri jika suami menginginkan. Memang ada sebagian laki-laki yang cuek dengan kemampuan istrinya dalam hal memasak, namun ingat ada juga suami-suami yang menuntut agar istrinya bisa memasak.
Ketiga, memasak membutuhkan kondisi fisik yang kuat. Karena kita tidak dapat memasak dengan baik jika kita lemah. Lihatlah chef yang ada di restoran hotel, atau tukang mie dan nasi goreng keliling biasanya mereka adalah laki-laki. Karena memasak ternyata melelahkan.
Keempat, memasak membutuhkan kekuatan mental dan ruhiyah yang stabil. Tentu hal ini bukan diada-adakan. Memasak itu tidak mungkin dengan hati yang “gondok”, atau sedang marah. Atau bahkan memasak sambil menangis, atau bahkan sedang tertawa terbahak-bahak. Rasa masakan akan terasa hambar, keasinan, atau kurang pass jika kita memasak dengan hati yang gundah (tidak ikhlas) sebab hati yang “kotor” akan menyebabkan kita sulit untuk menggambarkan rasa masakan kita. Memasak membutuhkan ketenangan hati dan keriangan. Dan hal itu didapat ketika kondisi iman kita sedang baik, karena memasak membutuhkan kesabaran dan keikhlasan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Karena apalah arti masakan yang nikmat dan lezat, bila kita memasak dengan hati terpaksa dan tertekan, yang menyantap makanan kitapun akan merasa tidak nyaman dan masakan kita tidak dapat dinikmati. Jadi ibu – ibu harus cooking with love !, memasak dengan cinta, supaya suami kita makin sayang istri saat menyantap masakan kita, karena masakan kita akan menjadi “asupan gizi cinta” bagi suami dan anak – anak jika kita memasaknya dengan rasa cinta yang tulus dan ikhlas untuk memperoleh keridhaan Allah dan suami kita….Selamat memasak!

ISTRI ≠ PEMBANTU RUMAH TANGGA..???!!!

Judul tersebut merupakan tema kajian yang akan diselenggarakan oleh tim warnaislam.com bersama Ust. Syarwat, Lc. Judul tersebut bagi saya cukup menarik perhatian saya, dan secara substantive atas judul tersebut saya sepakat, cuman disisi lain saya merasa ada sesuatu hal yang harus diantisipasi oleh suami istri atau calon suami atau calon istri, lebih-lebih dari kaum istri (hawa) setelah mengikuti kajian tersebut karena bisa menimbulkan ekses negative yaitu menimbulkan masalah baru.dalam hubungan suami istri dan menimbulkan presepsi yang berlebihan dari para kaum hawa atas peran istri.
Saya mencoba menduga-duga maksud dan tujuan kenapa tema tersebut diambil, menurut saya tema tersebut diangkat oleh panita bisa jadi berangkat dari fenomena dan realita yang ada bahwa istri seakan-akan menjadi pembantu rumah tangga karena mengurus semua keperluan rumah tangga mulai mencuci, memasak, menyetrika, merawat anak, melayani bayi, melayani suami dlll, persis seperti profesi pembantu rumah tangga yang mengurus seluruh kebutuhan rumah tangga sendirian, dan baru tidur setelah semua selesai, bahkan mungkin lebih rendah dari seorang pembantu karena juga harus melayani suami dari sisi “bathin”. Realitas itu memang mungkin benar adanya, sehingga dengan kajian tersebut panitia ingin membangkitkan kesadaran para suami dan kesadaran para istri, yaitu istri bukanlah pembantu rumah tangga yang harus mengurus semua keperluarn rumah tangga. Dari sisi tersebut saya sepakat, karena memang saya memahami sendri realitas di masyarkat bahkan di kalangan aktivis da’wah pun ada presepsi bahwa pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab istri, makanya dulu sewaktu saya masih bujangan dan sering bercanda dengan temen-temen saya jika menggoda ada seorang ikhwan bujangan yang udah punya rumah, dan punya perabotan rumah tangga lengkap tapi belum beristri maka kita pasti menggoda dengan mengatakan “wah tinggal cari operatornya nih”, meskipun itu gurauan tetapi kata-kata cari operatornya akan dinisbahkan dengan cari istri, karena istri identik dengan pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan rumah tangga identik dengan peran istri. Sebenarnya pun dalam Islam tugas utama istri bukan sekedar menjadi pengurus rumah tetapi punya peran pendidikan dan sosial serta da’wah, sehingga jika kita lihat dalam dalam surah An-Nur tentang tata cara pergaulan dalam rumah disebutkan dengan istilah hamba sahaya, yang sesungguhnya hamba sahaya itu adalah pembantu rumah tangga dalam istilah sekarang. Jadi saat itu pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dilakukan oleh para hamba sahaya. Dari sisi tersebutlah saya sepakat atas tema kajian tersebut.
Cuman saya melihat jika para istri memahami persoalan tersebut secara letterleg sudut pandang fiqih maka akan menjadi boomerang tersendiri bagi para istri. Apa itu, yaitu lunturnya rasa cinta suami kepada istri. Kekwatiran saya selepas kajian tersebut adalah para istri akan berontak dan tidak mau lagi mengerjakan pekerjaan rumah tangga serta menyerahkan semuanya kepada pembantu, maka jika hal tersebut terjadi maka yang akan muncul adalah prahara rumah tangga baru.
Yang harus dipahami adalah adanya naluri seorang suami yang ingin dilayani oleh istrinya. Coba tengok banyak kasus perceraian dan perselingkuhan yang terjadi akibat para suami merasa istrinya sudah tidak bisa melayaninya dengan baik. Saya sering melihat temen-temen kantor saya sangat merasa bangga jika mereka makan bekal buatan istri mereka saat makan siang, yang mereka bawa dari rumah. Meski lauknya sederhana cuman karena yang memasakan adalah orang-orang yang mereka cintai maka semangatnya beda. Saya sendiri pun merasa bangga jika mengundang orang untuk makan di rumah saya dan masakannya dimasak langsung oleh istri saya, rasanya tuh benar-benar mantap karena merasa ada yang bisa saya banggakan kepada tamu saya. Saya pun merasa nyaman dengan baju hasil strikaan istri saya jika saya bandingkan dengan memakai baju hasil setrikaan laundry, apalagi saat dipuji temen kantor karena setrikaan istri dinilai rapi. Lalu gimana kalau para istri itu tidak mau mengerjakan sesuatu yang sifatnya melayani para suaminya…? Saya rasa selama kegiatan atau aktivitas melayani istri tersebut dilandasi dengan rasa ukhuwah dan cinta maka sebenarnya tidak ada yang merasa dirugikan. Meskipun istri saya melakukan semua kegiatan rumah tangga yang ada saya tidak pernah menganggap istri saya adalah pembantu, karena itu jika istri saya merasa capek atau lelah ya saya tidak memaksa untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dan bahkan saya menawarkan diri untuk menggantikannya, begitu pula kadangkala istri saya memaksakan diri untuk melayani saya meskipun sekedar bikin teh panas meskipun saat itu saya tidak memintanya bahkan saya menolaknya, tapi untuk menghargai jerih payah dan niat baiknya serta memberikan kesempatan istri saya untuk berbuat baik akhirnya saya terima saja teh buatan istri saya itu. Bahkan seringkali istri saya memaksakan diri untuk memasak makanan walaupun dia sangat capek sekali, karena itu dia ingin lakukan untuk mewujudkan rasa cintanya, maka sebagai suami pun kita harus memberikan apresiasi. Karena sesungguhnya bagi sebagian para istri pelayanan kepada suami adalah bentuk perhatian istri dan wujud cinta-nya pada suami. Jadi sebenarnya selama pekerjaan istri dalam melakukan pekerjaan – pekerjaan rumah tangga dalam niatan untuk wujudakan rasa cinta dan ukhuwah maka presepsi istri adalah pembantu tidak akan pernah muncul dalam benak seorang suami.
Oleh karena itu agar kesan bahwa suami seolah-olah menganggap istri adalah pembantu rumah tangga bisa dihilangkan jika :
landasi semuanya dengan rasa cinta dan ukhuwah
suami harus menyediakan sarana dan prasarana yang bisa meringankan pekerjaan rumah tangga jika memang suami tidak mampu mencarikan seorang pembantu rumah tangga
suami harus siap membantu istri dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga sebagai wujud rasa ta’awun dan cinta kepada istri
pilah-pilah dan sepakati bersama, pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan oleh oleh orang lain dan pekerjaan rumah tangga apa yang harus di tangani langsung oleh istri sebagai sarana istri untuk mengaktualisasikan rasa cinta dan sayang kepada suami
Jadi bagi saya judul kajian itu harus diberi catatan khusus bahwa itu sebagai bahan tadzkirah untuk para suami yang selama ini terlalu membebankan berlebihan pekerjaan rumah tangga kepada istri dan perlu diberikan pemahaman kepada para istri bahwa melayani suami dan melaksanakan pekerjaan rumah tangga bisa dijadikan sebagai saran aktualisasi rasa cinta kepada suami

ISTRIKU....SAUDARAKU

Pernikahan merupakan sebuah perikatan resmi dalam syariah Islam yang melahirkan hak dan kewajiban bagi seorang istri atau suami. Semua hak dan kewajiban suami itu semua sudah diatur oleh syariat Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. JIka kita melihat pernikahan dari sisi hak dan kewajiban suami atau istri yang lahir dari sebuah akad pernikahan semata maka seakan-akan suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada istri. Hal tersebutlah yang kemudian menimbulkan kritikan pedas dari para kaum feminis, dan menjadi sorotan tajam dari para penganut paham gender, bahwa pernikahan dalam Islam menimbulkan hak dan kewajiban yang tidak menguntungkan bagi seorang wanita dan seolah-olah Islam merendahkan kedudukan wanita dalam struktur keluarga. Kondisi tersebut semakin diperparah oleh salah presepsi dari para suami bahwa memang benar suami mempunyai kedudukan tinggi dalam struktur keluarga, yang sebenarnya presepsi itu ditanamkan oleh budaya-budaya lokal yang melingkupi kehidupan para suami itu, jadi sebenarnya Islam tidak pernah memberikan kedudukan yang lebih tinggi suami atas istri, keduanya memiliki kedudukan yang sama, Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah 187 : “…..mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka…..”. Maka sesungguhya Islampun mengakaui kesamaan gender antara suami dan istri, hubungan suami istri merupakan hubungan saling melengkapi.
Sebenarnya hukum (fiqih) pernikahan (munakahat) hanya merupakan suatu hokum khusus yang dilingkup suatu hukum yang bersifat universal yaitu fiqih ukhuwah. Artinya, dalam hubungan suami istri itu ada hak-hak ukhuwah yang harus ditegakan. Istri bagi suami merupakan saudaranya seaqidah yang harus dipenuhi hak-hak sebagai seorang saudara. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Hujurat ayat 10 “ sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara….”, hubungan suami dan istri dalam lingkup yang lebih besar akan ada hubungan sesame mukmin yang bersaudara, maka istri adalah saudara mukmin bagi suami dan suami pun saudara mukmin bagi seorang Istri. Karena suami istri adalah saudara mukmin maka hak-hak dan kewajiban terhadapap saudara yang mukmin harus ditunaikan seperti ta’aruf, tafahum, ta’awun, takaful, dan itsar.
Maka sesungguhnya jika rukun-rukun ukhuwah ditegakkan dalam hubungan suami-istri maka insyaallah tidak ada presepsi siapa melayani siapa atau siapa dilayani siapa tetapi, yang ada adalah semangat untuk saling melayani satu sama lain, sebagaimana tingkatan tertinggi dalam ukhuwah adalah itsar yaitu mengutamakan saudaranya daripada diri sendiri maka jika dibangun semangat tersebut maka insyaallah kasus KDRT oleh suami terhadap istri atau KDRT oleh istri terhadapa suami tidak akan terjadi.
Jadi sesungguhnya istri kita adalah saudara mukmin kita yang memiliki hak untuk dipenuhi hak-hak ukhuwah sebagai seorang mukmin, insyaallah dengan semangat ukhuwah maka keharmonisan suami istri akan tetap terjaga, dengan semangat ukhuwah maka suami maupun istri saling menjaga perasaan satu dengan yang lain, senantiasa terpacu untuk saling memberi dan saling melayani yang terbaik, dan kesemuanya itu akan bermuara pada nilai ibadah atas hubungan suami istri tersebut, itulah keluarga muslim sesungguh….jadi jangan lupa bahwa istri kita adalah saudara kita maka penuhilah hak-hak saudaramu itu…