Sunday, July 26, 2009

MEMBAGI CINTA

Seminggu yang lalu saya bersama temen-temen kantor lama mengadakan silaturrahim ke salah satu rumah temen yang baru saja menikah lagi. Kami ke rumahnya karena saat acara pernikahannya kami semua tidak bias hadir, jadi sekalian acara perpisahan saya dengan temen-temen kantor lama maka kami memutuskan untuk singgah ke rumahnya. Ya…temen saya tadi menikah yang kedua sekitar enam bulan yang lalu, maksudnya menikah lagi bukan karena istrinya meninggal atau cerai tetapi istri pertamanya masih ada dan masih syah sebagai istrinya, alias temen saya itu berpoligami.
Terus terang saja saja pada enam bulan yang lalu pada saat menerima undangannya saya sangat terkejut sekaligus senyum-senyum sendiri tak kala membaca undangannya. Karena baru kali ini saya menerima undangan poligami, dan baru pertama kali ini saya melihat langsung orang dekat saya melakukan poligami. Kontan saja temen-temen sekantor saat itu pada heboh, heboh pertama karena di kantor ada juga temen yang gembar-gembor mau poligami tetapi sampai sekarang dia belum berpoligami bahkan sekarang mulai munndur ke belakang, katanya “dah tobat”, heboh kedua karena temen saya ini tak suaranya untuk berpoligami tak sekencang temen yang satunya. Ya dia menikah lagi dengan seorang janda dengan tiga orang anak yang ditinggal mati oleh suaminya. Saya mungkin tak mau ceritakan tentang kenapa dia mau poligami, dan bagaimana caranya istrinya mau di”madu” serta bagaimana istri keduanya itu mau jadi istri muda meskipun sudah gak muda lagi, karena itu ceritanya panjang, dan agak privasi. Saya cuma mau memberi catatan penting saja yaitu lintasan pikiran saya ketika saya berkunjung ke rumahnya....
Temen saya itu saat ini tinggal berdua dengan istrinya dan tiga orang anaknya dari istri kedua. Rumah istri-istrinya saling berdekatan, hanya dipisahkan tembok, tetapi di belakang rumahnya ada dapur yang jadi satu, jadi katanya tiap hari istri-istrinya itu masak bersama-sama. Hmm….kalo denger ceritanya asyik juga, seperti film ayat-ayat cinta itu cuman sampai di rumah saya jadi berpikir bagaimana caranya ya temen saya itu dapat membagi cintanya…??? Saya memang belum bertanya ke temen saya tentang soal itu tapi saya coba membayangkan bahwa betapa sulitnya membagi cinta karena berdasarkan apa yang saya rasakan membagi cinta itu susahnya luar biasa……
Saya jadi ingat kejadian tak kala istri saya cemburu pada saya ketika saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan ibu saya, atau tak kala anak saya yang pertama marah dan ngambek ke saya ketika saya terlalu memperhatikan adiknya yang masih kecil. Rasanya saya sulit membayangkan bagaimana cara membagi komunikasi yang intim jika saya punya istri dua…? Karena komunikasi yang intim, hanya berdua saja adalah kebutuhan komunikasi pasangan suami istri, lalu jika punya dua istri bagaimana ya cara dan rasanya..? Saya saja punya dua orang sahabat dekat sejak kecil sering saya rasakan keintiman saya berbeda antara sahabat saya yang satu dengan yang lain. Saya rasa itulah tantangan besar yang akan dihadapi jika seorang laki-laki melakukan poligami yaitu membagi cinta.
Adil dalam membagi cinta dalam poligami adalah tantangan besar dalam hidup berpoligami, dan itu disebutkan Allah dalam Surat An-Nisa ayat 3 : “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka kawinilah seorang saja”. Saya rasa itulah keindahan Islam dalam memandang poligami, artinya Islam itu membolehkan menikah lebih dari satu tetapi tidak boleh lebih dari empat, tetapi jika melihat ayat tadi maka kemampuan berpoligami itu hanya dimiliki oleh segelintir orang saja, karena tidak semua laki-laki mampu berpoligami, dan menurut saya hanya satu syarat utama seorang lelaki mampu berpoligami yaitu jika mampu membagi cintanya secara adil, adil dalam artian bukan membagi rata tetapi memenuhi hak-hak istri-istrinya secara ma’ruf. Karena membagi cinta sama rata itu adalah tidak mungkin, karena pastilah kita akan memiliki satu kecenderungan. Cinta kita pun kepada anak tidak bisa merata meskipun kita berusaha untuk membagi cinta kita kepada anak-anak kita secara adil, karena jika kita mau jujur dari hati terdalam kita pasti punya perasaan cinta yang lebih besar pada satu diantara anak-anak kita, tapi kita sebagai orang tua tidak mau menunjukan itu, kita pun berlaku adil hanya secara fisik cinta kepada anak-anak kita, tetapi sejatinya kita memiliki ruh cinta yang lebih pada salah satu anak kita. Dan itu pun dirasakan oleh Rasulullah SAW betapa beliau sangat mencitai Khadijah daripada yang lain.
Jadi adil menurut saya dalam adil membagi cinta saat kita berpoligami hanya bisa adil secara fisik yaitu memenuhi hak-hak yang nampak, dan mau memperhatikan setiap kebutuhan istri-istrinya, bukan membagi rata karena itu pasti tidak mungkin. Maksud tulisan ini saya bukan mengajak pembaca untuk berpolemik dalam pro dan kontra dalam masalah poligami, tetapi sekedar untuk merenungi tentang makna membagi cinta entah itu kepada istri, ibu, atau anak-anak. Cuman satu catatan penting saya adalah janganlah kita memandang hina kepada orang-orang yang melakukan poligami, dan juga janganlah kita mengagung-agungkan poligami. Yang harus kita sepakati bahwa poligami itu diperbolehkan oleh Islam, cuman tidak semua orang bisa berpoligami, dan siapa yang bisa berpoligami adalah tergantung pada kondisi kita akan jatuh pada hukum apa atas poligami itu atas diri kita, apa wajib, sunnah, makruh, mubah, atau haram…??? Kondisi kitalah yang akan menentukan hokum poligami atas diri kita, karena secara umum hukum poligami itu boleh (mubah) bukan wajib dan bukan sunnah, maka penjatuhan hukum poligami harus dilihat kasus per kasus bukan mengeneralisasinya baik ke ranah haram atau pun ke ranah sunnah. Tetapi jika sampai kita mengingkari poligami maka secara tidak langsung kita akan mengikari Al-Qur’an, jika sampai begitu maka akan merusak keimanan kita. Bisa jadi sesuatu yang kita anggap jelek boleh jadi akan mendatangkan kebaikan pada diri kita, dan sebaliknya sesuatu yang kita pandang baik, boleh jadi akan membawa keburukan.
Wallahu’alam bisshowab..

Saturday, July 11, 2009

AKU MAU LIMA….

Ketika bulan-bulan pertama iziz masuk sekolah. November 2008…ada temannya yang ultah….
“Bunda,…tadi vensya ulang tahun. Katanya umurnya sudah lima tahun….aku berapa bunda? Aku mau ulang tahun juga…”
“Kakak kan sudah ulang tahun kemaren. Lupa ya? Yang dikasih kado sama ayah? Mobil remot…? Lupa?....”
“ o iya…tapi aku ulang tahun yang ke berapa?”
“Kakak ulang tahun yang ke empat.”
“Vensya kok katanya ke lima? Aku mau ulang tahun lagi. Yang ke lima seperti Vensya…”
“Ya tahun depan kak….”
Aku mengerti, dia belum paham.
“Vensya kok sudah lima tahun? Kenapa aku empat tahun?..”
“Karena Vensya lahirnya duluan…”
“Iya, tapi kenapa, bunda?....aku mau seperti temanku. Lima tahun!””
“Belum, Nak. Kakak lima tahunnya tahun depan….”
Aku tau dia belum paham juga.
Mungkin ada tiga harian dia membicarakan masalah ulang tahun itu. Dia bingung, kenapa vensya 5 tahun, kenapa aku empat tahun. Kenapa usiaku tidak sama.
Waktu berlalu. Bulan berganti bulan. Sekarang sudah 2009. Kadang dia masih bertanya. “Bunda, apa aku sudah lima?”
“Belum nak. Kakak masih 4 tahun 6 bulan” jawabku suatu ketika.
Bulan juni 2009 kemaren dia tanya lagi.
“Bunda, aku ulang tahunnya bulan apa ya?”
“Bulan Juli, Nak”
“Apakah bulan juli sudah dekat?”
Ya. Setelah Juni habis, trus Juli.”
“Kalo begitu aku mau lima tahun ya…”
Aku menatapnya haru. “Ya…hampir lima tahun. Sedikit lagi…”
“yeeeee….aku mau lima….aku mau lima….” Karena waktu itu sedang di rumah ustadz untuk tahfidz, dia bertemu vensya teman akrabnya….maka dengan muka bebinar bahagia, dia menghampiri vensya…
“Ven…ven…jarene bundaku…aku…aku wis hampir limo…” dengan bahasa jawa yang kaku, dia menyampaikan kabar gembiranya….
“Kapan Ziz?
“Marine…bulan Juli…” aku mendengarkan, mengamati wajahnya…mengamati percakapan mereka berdua dengan senyum…
“Aku lho, wis atene enem…”
“ha? Enem?....” Iziz seperti tidak pecaya.
“Iyo..aku marine wis ate nem tahun…”
Iziz menatapku…seperti mau senyum…seperti sedih…aku sulit menggambarkan perasaannya….
Aku hanya tersenyum…senyum…tapi kasian juga anakku. Dia ingin seperti temannya…
Ketika dia menghampiriku…”Kakak sebentar lagi lima tahun…lalu enam tahun…lalu tujuh tahun….”
“Aku juga mau enam ya, Bunda”
“Iya nak…tahun depan lagi….”
Duh, kasian anakku….tapi dia belum paham konsep perjalanan waktu….jika tanggal, hari, dan bulan dia bisa…tapi pergantian taun dia belum bisa….

Sementara ini…jika iziz bertanya tentang usianya…aku bilang…iya setelah lima tahun…kakak juga enam tahun. Sama seperti Vensya. Dan dia pasti berteriak…yeeee….aku juga mau enam…..

Thursday, January 1, 2009

ADA TAKDIR KITA DALAM DIRI ISTRI KITA

Saya masih ingat tentang sekelumit kisah suami istri yang sedang berada di suatu SPBU, kisah ini saya dapatkan dari salah seorang temen saya yang diberikan kepada saya ketika saya mau menikah dulu, terlepas dari fiktif atau tidaknya cerita itu ada hikmah tersendiri yang saya rasakan atas cerita pendek itu.

Suatu hari ada seorang direktur perusahaan ternama sedang naik mobil bersama istrinya, karena bensin mobilnya akan habis, maka keduanya mampir di sebuah SPBU untuk mengisi kembali bensin mobil mereka. Saat mobil sedang diisi, dan sang direktur menunggu petugas selesai mengisi bensin mobilnya, tiba-tiba sang istri keluar dari mobil dan melangkahkan kakinya ke seorang petugas SPBU yang sedang berdiri di sisi yang lain. Sang direktur hanya melihat istrinya dari jauh, tanpa tahu apa yang dibicarakan, yang jelas keduanya nampak asyik berbicara, seperti dua kawan lama yang lama tak jumpa. Saat mobil selesai diisi, maka sang direktur membunyikan klakson mobil untuk memberikan isyarat kepada istrinya. Mendengar klakson mobil, sang istri segera bergegas menuju mobil. Rupanya sang direktur penasaran dengan apa yang dibicarakan istrinya dengan petugas SPBU tadi."Siapa tadi, kok asyik banget ngobrolnya" tanya sang direktur, "oh....itu tadi temen SMA-ku, dia dulu itu mantan pacarku waktu SMA, sebelum aku ketemu dengan-mu", jawab istrinya. "Pantes, asyik banget ngobrolnya. Untung ya kamu gak jadi nikah sama dia, kalau kamu nikah sama dia mungkin kamu tidak akan bisa jadi istrinya direktur, tapi jadi istri petugas SPBU..." kata Sang direktur."ah tidak juga, sebenarnya kamulah yang beruntung, kalau kamu gak nikah sama aku mungkin kamu tidak jadi direktur seperti saat ini, bisa jadi kamu jadi yang lain jika menikah dengan orang lain.." timpal istrinya.....

Mungkin sederhana cerita di atas, cuma jika kita renungkan dalam-dalam maka kita bisa mengambil hikmah yang besar yaitu rasa syukur yang mendalam karena kita menikah dengan istri kita saat ini. Mungkin diantara kita dulu pernah merajut asmara dengan orang lain tapi gagal, atau mungkin kita pernah menaruh hati pada seorang perempuan tapi tak kesampaian untuk mengungkapnya sehingga akhirnya kita menjadi suami dari istri kita saat ini. Maka jika kita renungkan sesungguhnya istri kita saat ini adalah bagian dari takdir kita. Saat kita memilih seorang wanita untuk menjadi istri kita saat ini maka sesungguhnya kita telah memilih takdir kehidupan kita selanjutnya. Mungkin kita tidak akan bisa menjadi seperti saat ini seandainya kita tak menikah dengan istri kita, mungkin kita akan mendapati hidup kita lebih baik atau lebih jelek seandainya kita menikah dengan orang lain. Maka sesungguhnya, dalam diri istri kita ada sebagian takdir dan rejeki untuk kehidupan kita. Begitupula diri kita, merupakan bagian dari takdir istri kita sehingga mereka dengan menjadi istri kita menjadi orang yang seperti saat ini, seandainya istri kita tidak menikah dengan kita mungkin mereka akan mendapati hidupnya lebih baik atau bahkan hidupnya lebih jelek dari saat ini. Jadi sesungguhnya istri kita adalah bagian dari takdir atas jalan dan cerita hidup yang akan kita lalu, dan merupakan sumber takdir rejeki untuk kita begitu pula diri kita merupakan bagian takdir dari cerita dan jalan hidup yang akan dilalui serta rejeki yang dia terima selama hidup bersuamikan diri kita.

Oleh karena itu, apa pun yang terjadi saat ini, apa pun yang kita jalani saat ini, dan apa pun istri kita harus kita syukuri keberadaannya. Karena pada saat ada lintasan pikiran kita yang mengatakan "ah...seandainya saya menikah dengan dia, tidak dengan istri saya maka saya mungkin tidak hidup seperti ini.." maka sesungguhnya lintasan pikiran seperti itu hanyalah tipuan kita, sebab kita tak bisa menentukan dan memberikan kepastian seandainya betul kita tak menikah dengan istri kita saat ini apakah kita bisa memastikan bisa meraih apa yang kita inginkan dalam lintasan pikiran tadi...? saya yakin belum tentu kita akan mendapatkan apa yang ada dalam lintasan pikiran kita. Takdir itu ibarat pintu, saat pintu itu tertutup maka kita tak pernah tahu ada apa dibalik pintu itu ketika nanti kita membukanya, kita baru tahu sesuatu dibalik pintu itu ketika kita sudah membuka pintu itu, dan kita juga tak pernah tahu ada apa dibalik pintu-pintu yang lain. Saat kita memilih istri kita saat ini maka sesungguhnya kita membuka salah satu pintu takdir kita yang akhirnya kita jalani saat ini, dan kita tak pernah tahu apa benar keinginan hati kita itu ada di pintu yang lain yang ingin kita pilih tadi...? Jadi syukurilah istri kita saat ini karena istri kita adalah bagian dari skenario hidup dan rejeki kehidupan kita saat ini.