Tuesday, June 17, 2008

PERAN BESAR AYAH DALAM PENDIDIKAN ANAK

Selama ini kebanyakan masyarakat menganggap bahwa peran pendidikan ada di tangan ibu semata, sehingga kita seperti kehilangan figur seorang ayah yang memiliki kemampuan untuk mentarbiyah anak-anak dan keluarganya. Sosok ayah terlalu sering dimunculkan dalam figur keperkasaan dan kepahlawanan, sehingga peran ayah dalam pendidikan sedikit dibahas dan minim menjadi bahan kajian masyarakat sekarang. Minimnya figur-figur ayah yang sukses dalam mendidik anak yang diungkap dalam sirah Rasulullah dan para sahabat semakin memperkuat berkembangnya persepsi bahwa pendidikan anak-anak adalah tanggung jawab sang ibu.


Tak ada yang menafikan peran - peran besar yang berada di tangan seorang ibu bagi masa depan anak-anaknya. Ibu bagaimanapun mempunyai pengaruh penting dalam kepribadian seorang anak sehingga mereka bisa merasakan kenyamanan, keteguhan, dan kepercayaan diri yang kuat dalam menjalani kehidupannya. Lalu bagaimana peran ayah? Sebagian besar masyarakat cenderung berpandangan bahwa pengasuhan dan pendidikan anak adalah tugas ibu, sedangkan tugas ayah cukup bekerja dan mencukupi kebutuhan materi. Sang ayah sibuk bekerja sedangkan sang ibu sibuk mengurus anak di rumah.


Bagaimana pandangan Islam terhadap peran ayah dalam keluarga ? Ini pertanyaan unik dan penting untuk dikaji lebih dalam. Karena ternyata sejarah hidup para ulama besar dan para salafushalih umumnya dilatarbelakangi sentuhan pendidikan yang diberikan ayahnya. Bahkan dalam Al-Qur'an pun tidak ada satupun dialog antara anak dan orang tua mewakili ibu, yang ada justru dialog antara ayah dan anak, kisah seorang nabi pun yang diasuh ibunya sejak kecil yakni nabi Ismail as banyak menggambarkan dialog antara Nabi Ismail dengan sang ayah yaitu Nabi Ibrahim. Salah satu dialog antara Nabi Ibrahim dengan Nabi Ismail adalah dalam surat Shaffat ayat 102 "Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab: Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintah kepadamu, Insayaallah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Jika membaca surat tersebut biasanya terbersit dalam pikiran kita tentang kandungan ayat ini adalah bagaimana kehebatan dan kekuatan tekad sang anak, Nabi Ismail, merespon mimpi yang disampaikan sang ayah Nabi Ibrhim. Umumnya pembahasan ayat ini fokus pada konteks pengorbanan Ismail sang anak demi memenuhi perintah Rabbnya. Tetapi sesungguhnya sudut pandang terhadap ayat ini masih penting untuk dikaji lebih dalam. Karena bagaimanapun sang anak tak bisa terdidik dan memiliki sikap yang begitu kuat begitu saja tampa ada sentuhan pendidikan dan pembinaan dari orang tuannya. Dalam hal ini Nabi Ibrahim terbukti telah berhasil menanamkan pendidikan tauhid yang agung dalam jiwa sang anak. Dan Ismail telh membuktikan bagaimana hasil pendidikan sang ayah dalam sikapnya yang rela berkorban apapun demi terlaksanannya perintah Allah.


Ayah merupakan sosok penting dalam bangunan umat Dalam sebuah keluarga, ayah adalah salah satu batu bata yang menopang bangunan umatIslam. Jika para ayah berhasil menunaikan misinya dalam keluarga, akan kokohlah bangunan umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan. Sebaliknya sikap abai ayah dalam menjalankan misinya dalam keluarga maka akan lemah dan rapuhnya bangunan umat ini. Ada banyak peran ayah dalam Islam yang harus ditunaikan dengan benar sebagaimana hadist Rasulullah "setiap kalian adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, seorang amir adalah pemimpin atas rakyatnya dan dia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, seorang laki-laki adalah pemimpin di keluarganya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, seorang perempuan adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan anaknya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, seorang hamba sahaya adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya (HR Bukhari). Ayah yang telah menunaikan kewajibannya berarti telah terbebesar dari tanggung jawabnya di hadapan Allah pada hari kiamat kelak. Allah berfirman " Hai orang2 beriman lindungilah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Di sana ada malaikat yang kasar dan keras, tidak melanggar perintah Allah kepada mereka dan mereka melakukan apa yang diperintahkan. (QS At-Tahrim:6)


Semua bentuk dan tata cara pendidikan Islam tentang hubungan sang ayah terhadap keluarganya juga dijelaskan dalam hadist Rasulullah. Karena jika kita mengetahui bahwa Rasulullah menikah dan mempunyai keluarga itu sebenarnya merupakan jawaban bagi orang yang berpaling dari kewajibannya kepada istri dengan alasan mengerahkan kegiatannya untuk berda'wah, karena Rasulullah seorang mujahid yang paling agung, dan juru da'wah yang paling mulia dia itu menikah dan juga membina rumah tangganya. Dalam salah satu hadist disebutkan Rasulullah tertawa bersama anak-anak. Rasulullah bahkan menggendong anak-anak dan sholat bersama anak-anak. Abu Qatadah menyebutkan bahwa Rasulullah shalat bersama kami sambil menggendong Umamah binti Zainab. Jika ia sujud diletakkannya Umamah, bila ia berdiri digendongnya. Adapula hadist dari An-Nasai yang berasal dari Abu Barrah Al-Ghifari bahwa Rasulullah shalat bersama sahabatnya lalu beliau sujud, ketika itu datanglah Hasan yang tertarik melihat Rasulullah sedang sujud, lalu naikla Hasan ke punggung Rasulullah yang mulia saat beliau sedang sujud. Usai shalat beliau meminta maaf kepada jamaah shalat dan mengatakan " Anakku tadi naik ke punggungku lalu aku kwatir bila aku bangun dan menyakitinya, maka akau menunggu sampai ia turun". Betapa tingginya perhatian Rasulullah terhadap anak-anak.


Ada dua tahapan penting yang harus dilalaui oleh seseorang untuk dapat menjalankan perannya sebagai ayah dalam pendidikan anak-anak dan keluarga. Tahapan pertama untuk dapat menjadi sosok ayah yang dapat menunaikan kewajibannya dalam pendidikan anak-anak dan keluarga adalah dimulai dari memilih perempuan yang akan menjadi calon pendamping hidupnya. Tahapan ini menjadi tahapan pertama dan utama bagi seseorang untuk dapat menjadi ayah yang memiliki peran sebagai pendidik anak-anak yang akan menjadi keturunannya, karena tahapan ini merupakan tahapan untuk menyiapkan lingkungan keluarga yang kondusif bagi pendidikan dan perkembangan anak-anak. Kondisi keluarga sangat menjamin perkembangan jiwa anak-anak. Kondisi keluarga yang penuh kasih sayang, penuh perhatian, dan kepedulian akan meyebabkan keluarga saling menghormati dan saling menghargai. Hubungan suami dan istri merupakan salah satu yang mewakili kondisi keluarga. Kondisi lingkungan keluarga yang mendukung tujuan pendidikan akan sangat membantu anak-anak untuk memiliki perilaku yang baik.

Thursday, June 12, 2008

LIKE FATHER LIKE SON

Part One

Seseorang lelaki datang menghadap amirul mukminin, Umar bin Khattab ra. Ia melaporkan kepada Rasulullah tentang kedurhakaan anaknya. Khalifah Umar lantas memanggil anak yang dikatakan durhaka itu dan mengingatkannya tentang bahaya durhaka kepada orang tua. Saat ditanya sebab kedurhakaannya dia mengatakan "wahai amirul mukminin, tidakah seorang anak mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh orang tuanya?" "Ya", jawab amirul mukminin, "Apakah itu ?" tanya anak itu. Khalifah Umar menjawab "Ayah wajib memilihkan ibu yang baik buat anak-anaknya, memberi nama yang baik dan mengajarinya Al-Qur'an". Lantas sang anak tadi menjawab " Wahai amirul mukminin, tak satupun dari tiga perkara itu yang ditunaikan ayahku. Ibuku majusi, namaku Ja'lan, dan aku tidak pernah diajari membaca Al-Qur'an". Umar kemudian menoleh kepada ayah anak tadi dan mengatakan "Anda datang mengadukan kedurhakaan anakmu, ternyata anda telah mendurhakainya sebelum ia mendurhakaimu. Anda telah berlaku tidak baik terhadapnya sebelum ia berlaku tidak baik kepada anda".


Part Two

"Siapa yang menjamin hidupmu sampai setelah waktu dhuhur ?" pertanyaan itu terlontar dari mulut seorang pemuda kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tokoh pemimpin yang bergelar khulafarasyidin kelima. Ketika itu khalifa yang terkenal keadilannya itu sangat tersentak dengan perkataan pemuda tadi. Terlebih saat itu ia sedang merebahkan dirinya untuk beristirahat setelah menguburkan khalifah sebelumnya, Sulaiman bin Malik. Tapi baru saja ia merebahkan tubuhnya, seorang pemuda berusia tujuh belasan tahunan mendatanginya dan mengatakan "Apa yang ingin engkau lakukan ya Amirul Mukminin ?" Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjawab "Biarkan aku tidur sejenak. Aku sangat lelah dan capek, nyaris tak ada kekuatan yang tersisa". Namun pemuda tadi nampak tidak puas dengan jawaban tadi, ia bertanya lagi "Apakah engkau akan tidur sebelum mengembalikan barang yang diambil secara paksa kepada pemiliknya ya Amirul Mukminin ?" Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengatakan "Jika tiba waktu dhuhur saya bersama orang-orang akan mengembalikan barang-barang tersebut kepada pemiliknya" Jawaban itulah yang kemudian ditanggapi oleh pemuda tersebut "Siapa yang menjaminmu hidup sampai setelah waktu dhuhur ya Amirul mukminin ?". Pemuda itu bernama Abdul Malik, putera amirul mukminin itu sendiri, Umar bin Abdul Aziz, semoga Allah merahmati keduanya.


Kedua penggalan cerita tersebut diadopsi dari buku "Cinta di Rumah Hasan Al-Banna" karya Muhammad Lili Nur Aulia terbitan Pustaka Da'watuna 2007. Semoga cerita tersebut memberikan hikmah kepada para ayah dan calon para ayah tentang tugas, kewajiban dan peran bagi pendidikan dan pembentukan karakater bagi anak-anaknya. Tugas mendidik anak bukan tugas seorang ibu semata, tapi seorang ayah mempunyai tugas besar untuk membuat kerangka bagi pendidikan anak-anaknya, baru kemudian ibu mempunyai tugas untuk mengisi kerangka tadi. Bagaimana akhlak dan karakter anak kita sangat tergantung pada akhlak dan karakter ayahnya. Ada tiga tugas utama ayah dalam pendidikan anak-anak yaitu: memilihkan ibu yang baik, mengajarkan Al-Qur'an, dan memberikan contoh dan teladan yang baik. Tanah yang baik akan menumbuhkan tanaman-tanaman yang subur, tanah yang tidak baik akan menumbuhkan tanaman yang merana. Tugas ayah adalah menyiapkan tanah yang baik dalam keluarga agar anak-anak itu bisa tumbuh subur, dan tugas ibu adalah memelihara anak-anak itu supaya tumbuh dengan subur.

Monday, June 9, 2008

MENJADI AYAH IDOLA


Saya sangat terkejut, gembira, terharu, dan cemas saat mendengar jawaban anak pertama saya ketika saya tanya "Iziz mau jadi apa jika besar nanti ?". "Ingin jadi seperti ayah, pakai kacamata, dan baca buku" jawabnya penuh semangat. Rupanya dia ingat terus tentang cerita bahwa penyebab saya memakai kacamata adalah karena suka membaca buku sambil tidur. Karena itu sekarang dia suka baca buku, bahkan sebelum tidur dia harus baca buku walaupun dibacakan oleh bundanya.
Saya gembira dan terharu mendengar jawaban anak saya itu, alhamdulillah berarti saya bisa menjadi ayah yang baik dan menjadi idola dihadapan anak sendiri. Tetapi muncul juga perasaan cemas di hati saya, karena menjadi ayah idola dihadapan anak-anak adalah beban berat bagi saya. Saya takut anak-anak tidak menyadari bahwa ayahnya adalah manusia biasa yang tidak bisa selalu sempurna dihadapan mereka. Selain itu dengan menjadi ayah idola bagi anak-anak menjadikan beban bagi saya untuk senantiasa memberikan contoh terbaik, dan berupaya untuk selalu tampil "sempurna".
Diantara rasa bangga dan rasa cemas sebagai ayah idola anak-anak, maka rasa cemas lebih mendominasi dalam diri saya. Karena harapan yang besar atas kesempurnaan sebagai ayah bisa memunculkan kekecewaan mendalam bagi anak-anak. Jalan satu-satunya adalah memberikan kesadaran dan pemahaman bahwa sosok ayah adalah sebagai manusia biasa yang tak luput dari kelemahan dan kesalahan. Oleh karena itu saya senantiasa mengucapkan kata maaf kepada anak saya jika saya berbuat salah atau tidak mampu memenuhi keinginan dan harapan mereka walau sekecil dan sesederhana apapun kesalahan dan kelemahan itu. Saya berupaya menjelaskan kenapa saya salah atau kenapa saya tidak bisa memenuhi harapan mereka, dengan harapan ada kesadaran bahwa ayahnya juga bisa salah, dan sebagai manusia harus mengakui kesalahan dan kelemahan itu serta berupaya untuk memperbaikinya.
Di balik rasa cemas itu, saya mencoba untuk mengambil sisi positif menjadi ayah idola bagi anak-anak. Sisi positf menjadi ayah idola adalah sebagai pemicu bagi seorang ayah untuk senantiasa menjadi inspirasi bagi anak-anaknya untuk berbuat kebaikan dan mencetak prestasi. Sehingga anak-anak adalah sumber inspirasi bagi diri seorang ayah untuk senantiasa berupaya berbuat kebaikan dan prestasi. Oleh karena itu menjadi ayah idola berarti menjadikan sosok ayah sebagai sumber inspirasi bagi anak-anak dalam berbuat dan bertindak dalam kebaikan, sekaligus menjadikan anak-anak sebagai sumber inspirasi bagi seorang ayah untuk senantiasa berbuat baik dan berprestasi dalam segala hal. Sehingga men-tarbiyah diri kita sebagai ayah secara sempurna sesungguhnya merupakan proses untuk mentarbiyah anak-anak kita. Itu semua akan terjadi jika kita mampu menjadi sosok ayah idola yaitu sosok ayah yang senantiasa menginspirasi anak-anaknya untuk berbuat baik, komitmen pada kebaikan, dan senantiasa untuk berprestasi dalam segala amal perbuatan

Wednesday, June 4, 2008

ANTARA SURABAYA - LUMAJANG ADA NILAI TARBIYAH

Hampir dua tahun sudah saya terpaksa jalani kehidupan berpisah dengan anak dan istri, dan terpaksa harus pulang pergi Surabaya - Lumajang tiap dua pekan sekali. Saya katakan "terpaksa" karena memang kondisi saat ini bukanlah sesuatu yang ideal. Karena yang disebut dengan keluarga adalah adanya proses penyatuan anggota keluarga inti yaitu ayah, ibu, dan anak, jika tidak ada salah satu elemen itu dalam satu tempat utamanya ayah dan ibu maka tidak layak untuk disebut sebagai sebuah keluarga. Kondisi ini memang terpaksan harus kami jalani sampai kami bisa menemukan "peta hidup" yang jelas dalam mengarungi samudra kehidupan ini bersama-sama. Jadi kondisi ini bukan sesuatu yang kami inginkan, tapi karena kondisi dan keadaan yang menjadikan kami harus menjalani pola rumah tangga seperti ini, dan kami berusaha dan senantiasa berusaha sampai detik ini untuk merentas "peta hidup" yang jelas bagi kami.

Jelas, perasaaan pertama yang muncul adalah SEDIH. Sedih karena harus berpisah dalam waktu sementara dengan anak dan istri, sedih pula karena tidak bisa optimal dalam memberikan kontribusi bagi da'wah. Terpisahnya kami jelas menghilangkan status kami sebagai warga masyarakat kurang lengkap, dan rasa hilangnya keanggotaan sebagai anggota masyarakat sangat saya rasakan sekali selama hidup sendiri di Surabaya. Sehingga optimalisasi peran untuk aktif dalam kegiatan masyarakat dan aktif melakukan pendidikan serta pencerahan keIslaman di masyarakat menjadi sangat terbatas. Hal tersebut jelas sangat tidak sesuai dengan kaidah kita sebagai da'i yaitu nahnu minhum wa nahnu maahum - kita adalah bagian dari masyarakat dan kita bekerja untuk masyarakat- menjadi tereliminasikan dari kehidupan saya di Surabaya. Mungkin untuk istri dan anak masih bisa berperan secara optimal dalam hal tersebut karena mereka berada dalam keluarga besar saya. Rasa sedih yang lain adalah tidak bisa optimal untuk memantau perkembangan anak-anak dari hari ke hari, dan sedikitnya waktu untuk bencengkrama dengan mereka.

Di balik kesedihan-kesedihan itu ada hal lain yang bisa menghibur diri saya. Pertama, ternyata tidak hanya saya saja yang menjalani kehidupan seperti ini, banyak keluarga-keluarga lain yang memiliki problem seperti saya, bahkan mungkin kondisinya lebih sulit dari apa yang sedang saya hadapi. Sehingga kadang saya bisa sedikit menghibur diri jika membandingkan dengan orang-orang yang memiliki probelm seperti saya. Bayangkan ada yang harus bertemu dengan anak dan istrinya hanya dua bulan sekali atau lebih karena jauhnya tempat kerja dan tempat tinggal. Bahkan ada yang terjebak akan menjalani kehidupan berpisah itu agak permanen karena suami istri sama-sama kerja, dan salah satunya harus dimutasi ke luar kota, dan istrinya tidak bisa ikut serta karena terkendala aturan sehingga tidak jelas kapan bisa menyatu lagi. Tetapi ada juga yang sedikit memberi motivasi kepada saya yaitu ada keluarga yang menjalani kehidupan berpisah ini berpuluh-puluh tahun, suaminya kerja di Jakarta dan istrinya kerja di Jember, maka terpaksalah tiap minggu dia harus pulang balik Jakarta - Jember. Dan yang sedikit menghibur saya juga ternyata makin hari makin banyak orang yang memiliki masalah seperti saya yang harus hidup berpisah karena pekerjaan, tetapi tetap bagi saya orang-orang yang hidup seperti saya adalah kumpulan orang yang punya masalah. Dan saya yakin, saya masih punya harapan besar untuk bisa lebih dulu keluar dari masalah ini daripada mereka, insyaallah, biidznillah.....

Hal lain yang menghibur saya dibalik kesedihan ini adalah adanya nilai tarbiyah tersendiri bagi saya dan keluarga. Selama menjalani kehidupan ini ada ada nilai tarbiyah at-tadhiyah dan at-tajarrud dalam da'wah. Saya dan keluarga mencoba untuk memahami dan mengamalkan peringatan Allah dalam surat At-Taubah 24: "Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu kwatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah yang lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasulnya, dan berjihad di jalan Allah, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusannya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq". Sungguh sangat terasa sekali perasaan yang digambarkan dalam surat At-Taubah tersebut yaitu setiap akhir pekan maka ujian itu akan muncul. Pada akhir pekan itu ada rasa rindu yang kuat untuk bertemu anak dan istri, tetapi di sisi lain ada seruan-seruan da'wah berupa agenda-agenda da'wah yang harus dilaksanakan, maka disitulah godaan setan dalam "rasa malas" mulai muncul. Jika rasa itu muncul maka yang ada dalam benak kita adalah keinginan untuk ijin dan cari-cari alasan untuk tidak terlibat dalam agenda da'wah tadi dengan melakukan pembenaran-pembenaran alasan kita.

Awalnya memang sulit untuk saya lakukan untuk bisa belajar berkorban. Tetapi lambat laun saya mulai bisa menikmati kewajiban harus berkorban itu. Dan saya mulai belajar makna berkorban itu. Yang dimaksud dengan pengorbanan adalah kita memberikan segala sesuatu yang paling berharga yang kita miliki, artinya sesuatu itu nilainya mahal bagi diri kita sehingga pada saat mau memberikan sesuatu itu ke orang lain kita menjadi berat untuk melakukannya. Karena itulah orang-orang yang bisa memberikan harta yang paling berharga yang dimiliki mendapatkan nilai yang baik sekali di mata Allah. Karena itulah Allah dalam salah satu ayat di surat Al-Imran mengatakan bahwa tanda-tanda orang muttaqien adalah memberikan hartanya baik di waktu lapang maupun sempit. Bahkan ada salah satu taujih dari seorang ustads yang mengatakan bahwa suatu amalan akan mendapatkan pahala yang tinggi dihadapan Allah jika pada saat kita mau mengerjakan suatu amalan kebajikan itu lalu timbul rasa malas dan enggan untuk mengerjakan tetapi kemudian kita berusaha melawan dengan keras yang akhirnya kita mampu melaksanakan amal kebajikan itu maka ada pahala yang besar atas itu semua. Atau dengan kata lain setiap kebajikan yang kita lakukan dalam keadaan mengalami kesempitan maka pahalanya lebih baik daripada kebajikan yang kita lakukan pada saat kita lapang. Kenapa lebih baik pahalanya? karena pada saat itu kita mendapatkan dua pahala sekaligus yaitu pahala atas kebaikan yang kita lakukan, dan pahala atas pengorbanan yang kita usahakan untuk melakukan kebaikan itu. Misalkan kita mau berinfaq saat kita sedang mempunyai rezeki banyak maka itu adalah sesuatu yang wajar bahkan wajib untuk dilakukan bagi orang yang memiliki kelebihan harta, tetapi coba bandingkan nilai pahalanya jika infaq itu kita lakukan pada saat kita sedang tidak punya uang, maka ada perasaan berat untuk melakukan tetapi karena dorongan untuk mendapat ridho Allah maka kita siap berkorban untuk melakukan kebaikan tersebut. Atau bandingkan nilai infaq kita yang sama-sama Rp 1.000,-, satu kondisi kita menginfaqkan uang Rp 1.000,- karena memang uang tersebut telah rusak sehingga kita merasa malu untuk menggunakannya dengan kita menginfaqkan uang Rp 1.000,- karena betul-betul ingin mendapatkan ridho Allah, maka nilai pahala kondisi yang kedua lebih baik.

Oleh karena itu wajar kemudian sholat tahajud atau qiyamul lail mendapatkan pahala yang tinggi dihadapan Allah, karena ada nilai tarbiyah at-tadhiyyah di dalamnya. Sehingga pada awal-awal Islam di Mekkah sholat tahajud menjadi wajib, dan hasilnya betul-betul bisa melahirkan sosok para sahabat dan generasi muslim yang siap berkorban untuk Allah dan Rasul-Nya. Jadi tidak layak disebut sebagai pengorbanan jika apa yang kita korbankan itu bukan sesuatu yang berharga bagi kita. Karena itulah kenapa jihad dengan mengorbankan nyawa adalah kemulian yang paling tinggi dihadapan Allah, karena kita rela dan ikhlas mengorbankan sesuatu yang paling berharga bagi setiap manusia, sehingga motivasi yang senantiasa dikorbankan dalam setiap diri seorang muslim adalah orang-orang kafir itu berperang untuk mencari kematian sedangkan seorang muslim berperang untuk mencari kehidupan.


Setiap akhir pekan itulah tarbiyah at-tadhiyah diberikan kepada saya. Bagi saya bertemu dan berkumpul bersama anak dan istri merupakan suatu yang sangat mahal bagi saya. Pinginnya setiap minggu bisa pulang, tapi pada akhir pekan itulah agenda da'wah sering muncul. Sehingga tantangan bagi saya untuk menguji nilai tadhiyah dalam da'wah ini dalam diri saya dan keluarga saya. Karena itu kadangkala saya kurang respek jika ada seseorang yang ijin atau menolak untuk melakukan seruan dan agenda-agenda da'wah hanya karena sabtu atau ahad adalah hari keluarga dengan alasan perlu waktu dg keluarga, padahal menurut saya itu bukan suatu hal yang berat, karena mereka tiap hari masih bisa bertemu dan berkomunikasi dengan anak dan istrinya..? Bahkan ada yang tidak mau di ganggu pada hari Ahad karena menjdi acara keluarga. Sebenarnya alasan itu semua bisa diatasi jika ada nilai tadhiyah dalam diri kita dan kita mampu mengaplikasikan pemahaman at-tajarud dalam da'wah, yaitu totalitas dalam da'wah.

Ya...at-tajarud merupakan nilai tarbiyah yang lain yang saya dapatkan selama menjalani kehidupan berpisah ini. Karena selama saya ada di Surabaya maka otomatis istri saya menjadi single parent bagi anak-anak. Yang menjadi tantangannya adalah saat istri harus menghadiri suatu agenda da'wah dan anak-anak harus ditinggal maka perlu adanya pelibatan kelurga besar untuk membantu istri dalam mengasuh anak-anak. Belum lagi ini merupakan pelajaran berharga bagi anak-anak untuk belajar berkorban untuk da'wah, memahami aktivitas da'wah orang tuanya, dan bisa menyesuaikan dengan aktivitas da'wah. Inilah makna tajarud dalam da'wah yaitu bagaimana mengoptimalkan seluruh potensi keluarga untuk mendukung aktivitas da'wah sesuai dengan peran masing-masing.

Mudah-mudahan dibalik ujian ini bisa memberikan tarbiyah bagi kami sekeluarga untuk lebih istiqomah dalam da'wah. Amin