Wednesday, June 4, 2008

ANTARA SURABAYA - LUMAJANG ADA NILAI TARBIYAH

Hampir dua tahun sudah saya terpaksa jalani kehidupan berpisah dengan anak dan istri, dan terpaksa harus pulang pergi Surabaya - Lumajang tiap dua pekan sekali. Saya katakan "terpaksa" karena memang kondisi saat ini bukanlah sesuatu yang ideal. Karena yang disebut dengan keluarga adalah adanya proses penyatuan anggota keluarga inti yaitu ayah, ibu, dan anak, jika tidak ada salah satu elemen itu dalam satu tempat utamanya ayah dan ibu maka tidak layak untuk disebut sebagai sebuah keluarga. Kondisi ini memang terpaksan harus kami jalani sampai kami bisa menemukan "peta hidup" yang jelas dalam mengarungi samudra kehidupan ini bersama-sama. Jadi kondisi ini bukan sesuatu yang kami inginkan, tapi karena kondisi dan keadaan yang menjadikan kami harus menjalani pola rumah tangga seperti ini, dan kami berusaha dan senantiasa berusaha sampai detik ini untuk merentas "peta hidup" yang jelas bagi kami.

Jelas, perasaaan pertama yang muncul adalah SEDIH. Sedih karena harus berpisah dalam waktu sementara dengan anak dan istri, sedih pula karena tidak bisa optimal dalam memberikan kontribusi bagi da'wah. Terpisahnya kami jelas menghilangkan status kami sebagai warga masyarakat kurang lengkap, dan rasa hilangnya keanggotaan sebagai anggota masyarakat sangat saya rasakan sekali selama hidup sendiri di Surabaya. Sehingga optimalisasi peran untuk aktif dalam kegiatan masyarakat dan aktif melakukan pendidikan serta pencerahan keIslaman di masyarakat menjadi sangat terbatas. Hal tersebut jelas sangat tidak sesuai dengan kaidah kita sebagai da'i yaitu nahnu minhum wa nahnu maahum - kita adalah bagian dari masyarakat dan kita bekerja untuk masyarakat- menjadi tereliminasikan dari kehidupan saya di Surabaya. Mungkin untuk istri dan anak masih bisa berperan secara optimal dalam hal tersebut karena mereka berada dalam keluarga besar saya. Rasa sedih yang lain adalah tidak bisa optimal untuk memantau perkembangan anak-anak dari hari ke hari, dan sedikitnya waktu untuk bencengkrama dengan mereka.

Di balik kesedihan-kesedihan itu ada hal lain yang bisa menghibur diri saya. Pertama, ternyata tidak hanya saya saja yang menjalani kehidupan seperti ini, banyak keluarga-keluarga lain yang memiliki problem seperti saya, bahkan mungkin kondisinya lebih sulit dari apa yang sedang saya hadapi. Sehingga kadang saya bisa sedikit menghibur diri jika membandingkan dengan orang-orang yang memiliki probelm seperti saya. Bayangkan ada yang harus bertemu dengan anak dan istrinya hanya dua bulan sekali atau lebih karena jauhnya tempat kerja dan tempat tinggal. Bahkan ada yang terjebak akan menjalani kehidupan berpisah itu agak permanen karena suami istri sama-sama kerja, dan salah satunya harus dimutasi ke luar kota, dan istrinya tidak bisa ikut serta karena terkendala aturan sehingga tidak jelas kapan bisa menyatu lagi. Tetapi ada juga yang sedikit memberi motivasi kepada saya yaitu ada keluarga yang menjalani kehidupan berpisah ini berpuluh-puluh tahun, suaminya kerja di Jakarta dan istrinya kerja di Jember, maka terpaksalah tiap minggu dia harus pulang balik Jakarta - Jember. Dan yang sedikit menghibur saya juga ternyata makin hari makin banyak orang yang memiliki masalah seperti saya yang harus hidup berpisah karena pekerjaan, tetapi tetap bagi saya orang-orang yang hidup seperti saya adalah kumpulan orang yang punya masalah. Dan saya yakin, saya masih punya harapan besar untuk bisa lebih dulu keluar dari masalah ini daripada mereka, insyaallah, biidznillah.....

Hal lain yang menghibur saya dibalik kesedihan ini adalah adanya nilai tarbiyah tersendiri bagi saya dan keluarga. Selama menjalani kehidupan ini ada ada nilai tarbiyah at-tadhiyah dan at-tajarrud dalam da'wah. Saya dan keluarga mencoba untuk memahami dan mengamalkan peringatan Allah dalam surat At-Taubah 24: "Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu kwatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah yang lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasulnya, dan berjihad di jalan Allah, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusannya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq". Sungguh sangat terasa sekali perasaan yang digambarkan dalam surat At-Taubah tersebut yaitu setiap akhir pekan maka ujian itu akan muncul. Pada akhir pekan itu ada rasa rindu yang kuat untuk bertemu anak dan istri, tetapi di sisi lain ada seruan-seruan da'wah berupa agenda-agenda da'wah yang harus dilaksanakan, maka disitulah godaan setan dalam "rasa malas" mulai muncul. Jika rasa itu muncul maka yang ada dalam benak kita adalah keinginan untuk ijin dan cari-cari alasan untuk tidak terlibat dalam agenda da'wah tadi dengan melakukan pembenaran-pembenaran alasan kita.

Awalnya memang sulit untuk saya lakukan untuk bisa belajar berkorban. Tetapi lambat laun saya mulai bisa menikmati kewajiban harus berkorban itu. Dan saya mulai belajar makna berkorban itu. Yang dimaksud dengan pengorbanan adalah kita memberikan segala sesuatu yang paling berharga yang kita miliki, artinya sesuatu itu nilainya mahal bagi diri kita sehingga pada saat mau memberikan sesuatu itu ke orang lain kita menjadi berat untuk melakukannya. Karena itulah orang-orang yang bisa memberikan harta yang paling berharga yang dimiliki mendapatkan nilai yang baik sekali di mata Allah. Karena itulah Allah dalam salah satu ayat di surat Al-Imran mengatakan bahwa tanda-tanda orang muttaqien adalah memberikan hartanya baik di waktu lapang maupun sempit. Bahkan ada salah satu taujih dari seorang ustads yang mengatakan bahwa suatu amalan akan mendapatkan pahala yang tinggi dihadapan Allah jika pada saat kita mau mengerjakan suatu amalan kebajikan itu lalu timbul rasa malas dan enggan untuk mengerjakan tetapi kemudian kita berusaha melawan dengan keras yang akhirnya kita mampu melaksanakan amal kebajikan itu maka ada pahala yang besar atas itu semua. Atau dengan kata lain setiap kebajikan yang kita lakukan dalam keadaan mengalami kesempitan maka pahalanya lebih baik daripada kebajikan yang kita lakukan pada saat kita lapang. Kenapa lebih baik pahalanya? karena pada saat itu kita mendapatkan dua pahala sekaligus yaitu pahala atas kebaikan yang kita lakukan, dan pahala atas pengorbanan yang kita usahakan untuk melakukan kebaikan itu. Misalkan kita mau berinfaq saat kita sedang mempunyai rezeki banyak maka itu adalah sesuatu yang wajar bahkan wajib untuk dilakukan bagi orang yang memiliki kelebihan harta, tetapi coba bandingkan nilai pahalanya jika infaq itu kita lakukan pada saat kita sedang tidak punya uang, maka ada perasaan berat untuk melakukan tetapi karena dorongan untuk mendapat ridho Allah maka kita siap berkorban untuk melakukan kebaikan tersebut. Atau bandingkan nilai infaq kita yang sama-sama Rp 1.000,-, satu kondisi kita menginfaqkan uang Rp 1.000,- karena memang uang tersebut telah rusak sehingga kita merasa malu untuk menggunakannya dengan kita menginfaqkan uang Rp 1.000,- karena betul-betul ingin mendapatkan ridho Allah, maka nilai pahala kondisi yang kedua lebih baik.

Oleh karena itu wajar kemudian sholat tahajud atau qiyamul lail mendapatkan pahala yang tinggi dihadapan Allah, karena ada nilai tarbiyah at-tadhiyyah di dalamnya. Sehingga pada awal-awal Islam di Mekkah sholat tahajud menjadi wajib, dan hasilnya betul-betul bisa melahirkan sosok para sahabat dan generasi muslim yang siap berkorban untuk Allah dan Rasul-Nya. Jadi tidak layak disebut sebagai pengorbanan jika apa yang kita korbankan itu bukan sesuatu yang berharga bagi kita. Karena itulah kenapa jihad dengan mengorbankan nyawa adalah kemulian yang paling tinggi dihadapan Allah, karena kita rela dan ikhlas mengorbankan sesuatu yang paling berharga bagi setiap manusia, sehingga motivasi yang senantiasa dikorbankan dalam setiap diri seorang muslim adalah orang-orang kafir itu berperang untuk mencari kematian sedangkan seorang muslim berperang untuk mencari kehidupan.


Setiap akhir pekan itulah tarbiyah at-tadhiyah diberikan kepada saya. Bagi saya bertemu dan berkumpul bersama anak dan istri merupakan suatu yang sangat mahal bagi saya. Pinginnya setiap minggu bisa pulang, tapi pada akhir pekan itulah agenda da'wah sering muncul. Sehingga tantangan bagi saya untuk menguji nilai tadhiyah dalam da'wah ini dalam diri saya dan keluarga saya. Karena itu kadangkala saya kurang respek jika ada seseorang yang ijin atau menolak untuk melakukan seruan dan agenda-agenda da'wah hanya karena sabtu atau ahad adalah hari keluarga dengan alasan perlu waktu dg keluarga, padahal menurut saya itu bukan suatu hal yang berat, karena mereka tiap hari masih bisa bertemu dan berkomunikasi dengan anak dan istrinya..? Bahkan ada yang tidak mau di ganggu pada hari Ahad karena menjdi acara keluarga. Sebenarnya alasan itu semua bisa diatasi jika ada nilai tadhiyah dalam diri kita dan kita mampu mengaplikasikan pemahaman at-tajarud dalam da'wah, yaitu totalitas dalam da'wah.

Ya...at-tajarud merupakan nilai tarbiyah yang lain yang saya dapatkan selama menjalani kehidupan berpisah ini. Karena selama saya ada di Surabaya maka otomatis istri saya menjadi single parent bagi anak-anak. Yang menjadi tantangannya adalah saat istri harus menghadiri suatu agenda da'wah dan anak-anak harus ditinggal maka perlu adanya pelibatan kelurga besar untuk membantu istri dalam mengasuh anak-anak. Belum lagi ini merupakan pelajaran berharga bagi anak-anak untuk belajar berkorban untuk da'wah, memahami aktivitas da'wah orang tuanya, dan bisa menyesuaikan dengan aktivitas da'wah. Inilah makna tajarud dalam da'wah yaitu bagaimana mengoptimalkan seluruh potensi keluarga untuk mendukung aktivitas da'wah sesuai dengan peran masing-masing.

Mudah-mudahan dibalik ujian ini bisa memberikan tarbiyah bagi kami sekeluarga untuk lebih istiqomah dalam da'wah. Amin



No comments: