Wednesday, December 10, 2008

ANTARA KEPALA KELUARGA DAN KEPALA RUMAH TANGGA

Sekilas tidak ada bedanya antara kepala rumah tangga dan kepala keluarga jika kita lihat dari sisi makna bahasa. Masyarakat pada umumnya sudah mafhum jika disebut kepala rumah tangga pasti sama makna dengan kepala keluarga, artinya kedua kata itu merupakan sinonim kata. Apa benar kepala rumah tangga itu sama dengan kepala keluarga..? Jika memiliki arti yang sama apakah juga merujuk pada orang yang sama ? Jika sama maka dimanakah letak pembagian tugas antara suami dan istri dalam kehidupan berumah tangga..?
Mari kita simak salah satu hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari "Rasulullah bersabda: setiap kalian adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang amir adalah pemimpin atas rakyatnya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin di keluarganya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan anaknya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Setiap kalian ada pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya". Jika kita simak secara lebih dalam kandungan hadist tadi maka kita mendapatkan bahwa antara kepala keluarga dan kepala rumah tangga merupakan dua makna dan dua posisi yang berbeda dan disandang oleh dua orang yang berbeda. Jika merujuk pada hadist tersebut maka suami merupakan kepala keluarga yang bertanggung jawab atas keseluruhan anggota keluarga yang ada, sedangkan istri adalah kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas urusan rumah tangga.
Jadi sebenarnya antara kepala keluarga dan kepala rumah tangga adalah dua makna dan dua fungsi yang berbeda. Kepala keluarga merupakan peran dari seorang suami yang bertanggung jawab atas keseluruhan keluarga, sedangkan kepala keluarga merupakan posisi yang difungsikan oleh seorang istri untuk mengurus masalah-masalah rumah tangga. Perbedaan kedudukan tersebut ditegaskan dalam surat At Tahrim ayat 6 " Hai orang-orang yang beriman lindungilah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..." Suami sebagai kepala keluarga memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan dan melindungi keseluruhan anggota keluarga dari api neraka, artinya suami sebagai kepala keluarga merupakan orang yang mengarahkan dan memimpin seluruh anggota keluarga untuk beriman kepada Allah. Sedangkan istri sebagai kepala rumah tangga merupakan "ratu rumah tangga" yang mempunyai tanggung jawab untuk membangun dan mengelola suasana rumah tangga yang nyaman dan aman serta kondusif untuk menumbuhkan rasa kasih sayang sesama anggota keluarga dan menumbuhkan suasana yang kondusif untuk tumbuhnya iman dari setiap anggota keluarga yang akan diperankan oleh sosok ayah (suami).
JIka kita tengok kehidupan keluarga di Jepang mereka telah mengaplikasikan konsep kepala rumah tangga dan kepala keluarga yang sumbernya dari Islam itu. Di masyarakat Jepang, ibu merupakan kepala rumah tangga yang wajib dihormati oleh setiap anggota keluarga dalam menjalankan wewenangnya mengatur rumah tangga. Jika seorang anak mau tidur atau pun keluar rumah mereka minta ijin ke ibu sebagai kepala rumah tangga, ataupun mereka mau mandi anak-anak akan meminta ijin kepada ibu mereka. Bahkan pembelanjaan uang gaji suaminya yang mengatur adalah istrinya, maksudnya istri yang membuat anggaran dan alokasi kebutuhan rumah tangga secara umum, anggaran untuk anak-anak, dan anggaran untuk suaminya. Semua urusan dan keputusan yang berkaitan dengan masalah pengelolaan kebutuhan rumah menjadi tanggung jawab penuh dari seorang ibu. Tetapi untuk pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan keluarga secara umum maka fungsi tersebut berada di tangan suami.
Karena sebagai kepala keluarga maka suami harus mampu membingkai seluruh kehidupan keluraganya dengan keimanan kepada Allah, sedangkan istri adalah yang membangun isi atas bingkai tadi. Sehingga dengan pembedaaan peran dan fungsi bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah sebagai kepala rumah tangga maka akan bisa diciptakan sinergisitas atas keduanya, dan setiap pihak akan bisa saling menghormati peran dan tanggung jawabnya sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Sebagai suami kita harus menghormati kedudukan istri kita sebagai kepala rumah tangga yang memiliki wewenang penuh untuk mengelola kehidupan rumah tangga, sedangkan suami sebagai pemimpin keluarga yang akan memberikan bingkai dan arah kemana biduk keluarga akan di arahkan.

Tuesday, December 9, 2008

MENENTUKAN MOMENTUM MENIKAH

Masalah besar bagi para bujangan adalah menentukan kapan waktu yang pas untuk menikah. Memang jika kita bertanya pada orang-orang yang telah menikah maka pasti jawabannya sulit untuk didefinisikan, maksudnya alasan mereka memutuskan menikah saat itu tidak bisa dijawab secara terstruktur. Sedangkan di sisi lain banyak para bujangan yang sampai saat ini belum menikah karena terbelunggu oleh indikator-indikator yang menjadikan mereka terbelenggu tidak bisa menikah.
Jika kita melihat realita yang ada di kalangan para bujangan ada dua sisi ekstrem yang saling bertolak belakang. Sisi yang satu adalah kelompok para bujangan yang memiliki semangat menikah cukup tinggi, dalam benak mereka menikah adalah sesuatu yang indah, sesuatu yang menjanjikan kebahagian dalam hidup. Asumsi dan bayangan mereka tidaklah salah, cuman seringkali karena kurang proporsional dalam memandang pernikahan menjadikan mereka berpandangan simplikasi atas pernikahan, yang jika tidak diimbangai dengan pemahaman dan kesiapan mental yang baik akan menjadikan bahtera rumah tangga menjadi goyang karena tidak siap menghadapi suatu hal yang diluar dugaan sebelumnya. Sisi yang lain adalah kelompok para bujangan yang terlalu memandang bahwa pernikahan adalah sesuatu yang menyeramkan dan menakutkan, menikah adalah suatu pekerjaan berat. Dalam benak mereka dalam menikah dan hidup berumah tangga banyak terjadi masalah, karena itu mereka harus mempersiapkan diri secara matang agar tidak terjebak dalam masalah-masalah rumah tangga. Asumsi mereka bahwa kehidupan rumah tangga akan ada masalah adalah bukan hal yang salah, kesalahan mereka adalah terlalu menjadikan bahwa menikah adalah pekerjaan yang sulit, sehingga mendorong mereka membuat ukuran-ukuran kapan mereka harus menikah yang sulit dan lama dalam mencapainya, sehingga mereka lama tidak menikah-menikah karena merasa belum cukup bekal untuk menikah.
Sebenarnya, ada dua ukuran utama yang menjadi dasar bagi setiap pemuda Islam untuk menentukan kapan waktu dan momentum yang tepat untuk menikah supaya tidak terjebak dalam dua sisi yang ekstrem tadi. Ukuran pertama adalah ukuran usia. Usia yang paling tepat untuk menikah adalah usia 24 tahun sampai dengan 28 tahun. Dalam range usia tersebut semangat dan tekad untuk menikah dari seseorang akan mengalami titik equilibrium. Artinya pada usia-usia tersebut seseorang akan bisa berpikir secara bijak antara perasaan untuk menyegerakan menikah dan kedewasaan seseorang dalam memandang pernikahan itu. Artinya dalam range usia tersebut merupakan usia dimana seseorang memiliki semangat untuk menikah dan memiliki pandangan yang seimbang terhadap pernikahan dan kehidupan berumah tangga. Sebab begitu seseorang memasuki usia 29 sampai 35 tahun maka orang tersebut akan hilang semangat untuk menikah dan semakin jelek presepsinya terhadap menikah, idealismenya mulai luntur sehingga dalam mencari pasangan pun asal dapat dsb. Sedangkan jika usia di bawah 24 tahun maka nafsu dan semangat untuk menikah lebih dominan sehingga seringkali mengabaikan kesiapan mental dalam menghadapai persoalan hidup setelah menikah.
Ukuran kedua yang bisa dijadikan momentum seseorang menikah adalah hukum nikah yang dikenakan pada diri seseorang. Hukum nikah yang dikenakan pada diri seseorang bisa bersifat wajib, sunnah, mubah, dan haram. Seseorang wajib menikah jika dengan menikah tersebut menjadikan dia terhindar dari perbuatan dosa besar setelah segala macam cara untuk menghindari dosa besar itu tidak bisa mencegahnya dari perbuatan dosa besar maka menikah adalah wajib bagi orang tersebut. Jika ada seorang pemuda yang telah berupaya menjaga dirinya dari dosa nafsu seks (birahi) dengan cara berpuasa sunnah ternyata tetap tidak bisa menghindarikan diri dari dosa maka dia wajib untuk menikah. Tetapi yang perlu dicatat bahwa katagori wajib ini jika segala upaya telah dilakukan baru kemudian dapat disimpulkan wajib menikah bagi dirinya. Karena seringkali seseorang karena sangat kepingin nikah padahal dia masih bisa mencegah berbuat dosa dengan cara yang lain menjadikan hukum wajib menjadi salah satu alasan dia untuk menyegerakan menikah, padahal secara realita mungkin dia belum masuk katagori wajib. Karena itu jika seorang pemuda sudah berpenghasilan tetapi sering melakukan perbuatan dosa atau tidak mampu menjaga diri dari perbuatan dosa maka hukumnya wajib baginya untuk menikah. Seseorang masuk dalam kataqori sunnah dalam menikah jika secara realita dia bisa menjaga diri dari perbuatan dosa tetapi secara kondisi dia telah memiliki bekal yang cukup untuk menikah, seperti dia sudah bisa berpenghasilan dan secara umur tidak ada masalah maka akan mendatangkan kebaikan jika dia menikah segera. Dan seseorang akan masuk dalam katagori mubah jika dia mampu menjaga diri dari perbuatan dosa dan secara umur sudah cukup serta tidak ada hal-hal lain yang menjadikan perbedaan antara menyegerakan atau menunda menikah maka dia masuk dalam katogori mubah. Dan seseorang bisa masuk dalam katagori haram untuk menikah jika menikahnya dia akan membawa keburukan baik bagi dirinya maupun orang yang akan dinikahi.
Jadi dengan mengukur berapa umur anda sekrang saat ini dan bagaimana kondisi anda saat ini apakah termasuk katagori wajib, sunnah, mubah bahkan haram untuk menikah akan dapat menentukan kapan momentum yang tepat untuk melaksankan pernikahan. Setiap orang memiliki kondisi yang berbeda-beda, tetapi dengan ukuran umur dan sebab-sebab jatuhnya hukum menikah bagi seseorang akan bisa mengukur kapan momentum yang tepat untuk menikah, jika masuk dalam katagori wajib maka saat ini juga anda harus segera menikah, jika dalam kataqori sunnah maka janganlah menunda terlalu lama, jika masuk dalam katagori mubah maka anda dapat menunda beberapa lama sampai anda masuk dalam katagori sunnah dan wajib. Dan jika anda masuk katagori haram maka jangan anda lakukan pernikahan itu. Jadi kapan momentum menikah itu akan anda tentukan...?

Friday, November 28, 2008

COOKING WITH LOVE

Memasak bagi sebagian orang adalah suatu yang mengasyikkan. Bahkan bisa menjadi hobi. Namun bagi sebagian yang lain, memasak adalah sesuatu yang sulit dan rumit untuk dilakukan. Berkutat dengan bumbu dapur yang sangat banyak dan membingungkan menjadi hal yang berat bagi orang yang tidak suka memasak.Sebagai seorang muslimah, mau tidak mau kita harus bisa memasak. Minimal masakan tradisional untuk makan kita sehari-hari. Sudah cukup ketika kita masih kuliah atau beraktivitas di kampus, kita tidak memperdulikan masalah-masalah seperti ini. Mungkin dianggap remeh. Namun saat menjadi seorang istri, memasak dan mempelajarinya menjadi kebutuhan bagi muslimah setelah berumah tangga, apalagi jika tak punya khodimat alias tukang masak.Ada beberapa hal yang harus diingat berkaitan dengan memasak:
Pertama, bahwa memasak membutuhkan kecerdasan, pengetahuan yang luas, dan ingatan yang kuat. Karena memasak tentu tidak asal mencampurkan semua bahan kedalam panci. Atau tidak sembarang menumis. Kita juga perlu belajar bagaimana menggambarkan rasa. Jika daging dimasak bersama wortel dan kol apakah rasa yang dihasilkan, bumbu apa saja yang cocok untuk memasak daging. Ibu kita mungkin pernah mengajarkan kita memasak, dan mengatakan bahwa ada ‘bumbu dasar’ dalam memasak. Bumbu inilah yang harus kita kuasai dan pahami karena akan menjadi dasar untuk memasak masakan apa saja. Maka dengan demikian kita memasak tidak akan tergantung pada buku masakan.
Kedua, memasak akan menjadi suatu kewajiban bagi seorang istri jika suami menginginkan. Memang ada sebagian laki-laki yang cuek dengan kemampuan istrinya dalam hal memasak, namun ingat ada juga suami-suami yang menuntut agar istrinya bisa memasak.
Ketiga, memasak membutuhkan kondisi fisik yang kuat. Karena kita tidak dapat memasak dengan baik jika kita lemah. Lihatlah chef yang ada di restoran hotel, atau tukang mie dan nasi goreng keliling biasanya mereka adalah laki-laki. Karena memasak ternyata melelahkan.
Keempat, memasak membutuhkan kekuatan mental dan ruhiyah yang stabil. Tentu hal ini bukan diada-adakan. Memasak itu tidak mungkin dengan hati yang “gondok”, atau sedang marah. Atau bahkan memasak sambil menangis, atau bahkan sedang tertawa terbahak-bahak. Rasa masakan akan terasa hambar, keasinan, atau kurang pass jika kita memasak dengan hati yang gundah (tidak ikhlas) sebab hati yang “kotor” akan menyebabkan kita sulit untuk menggambarkan rasa masakan kita. Memasak membutuhkan ketenangan hati dan keriangan. Dan hal itu didapat ketika kondisi iman kita sedang baik, karena memasak membutuhkan kesabaran dan keikhlasan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Karena apalah arti masakan yang nikmat dan lezat, bila kita memasak dengan hati terpaksa dan tertekan, yang menyantap makanan kitapun akan merasa tidak nyaman dan masakan kita tidak dapat dinikmati. Jadi ibu – ibu harus cooking with love !, memasak dengan cinta, supaya suami kita makin sayang istri saat menyantap masakan kita, karena masakan kita akan menjadi “asupan gizi cinta” bagi suami dan anak – anak jika kita memasaknya dengan rasa cinta yang tulus dan ikhlas untuk memperoleh keridhaan Allah dan suami kita….Selamat memasak!

ISTRI ≠ PEMBANTU RUMAH TANGGA..???!!!

Judul tersebut merupakan tema kajian yang akan diselenggarakan oleh tim warnaislam.com bersama Ust. Syarwat, Lc. Judul tersebut bagi saya cukup menarik perhatian saya, dan secara substantive atas judul tersebut saya sepakat, cuman disisi lain saya merasa ada sesuatu hal yang harus diantisipasi oleh suami istri atau calon suami atau calon istri, lebih-lebih dari kaum istri (hawa) setelah mengikuti kajian tersebut karena bisa menimbulkan ekses negative yaitu menimbulkan masalah baru.dalam hubungan suami istri dan menimbulkan presepsi yang berlebihan dari para kaum hawa atas peran istri.
Saya mencoba menduga-duga maksud dan tujuan kenapa tema tersebut diambil, menurut saya tema tersebut diangkat oleh panita bisa jadi berangkat dari fenomena dan realita yang ada bahwa istri seakan-akan menjadi pembantu rumah tangga karena mengurus semua keperluan rumah tangga mulai mencuci, memasak, menyetrika, merawat anak, melayani bayi, melayani suami dlll, persis seperti profesi pembantu rumah tangga yang mengurus seluruh kebutuhan rumah tangga sendirian, dan baru tidur setelah semua selesai, bahkan mungkin lebih rendah dari seorang pembantu karena juga harus melayani suami dari sisi “bathin”. Realitas itu memang mungkin benar adanya, sehingga dengan kajian tersebut panitia ingin membangkitkan kesadaran para suami dan kesadaran para istri, yaitu istri bukanlah pembantu rumah tangga yang harus mengurus semua keperluarn rumah tangga. Dari sisi tersebut saya sepakat, karena memang saya memahami sendri realitas di masyarkat bahkan di kalangan aktivis da’wah pun ada presepsi bahwa pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab istri, makanya dulu sewaktu saya masih bujangan dan sering bercanda dengan temen-temen saya jika menggoda ada seorang ikhwan bujangan yang udah punya rumah, dan punya perabotan rumah tangga lengkap tapi belum beristri maka kita pasti menggoda dengan mengatakan “wah tinggal cari operatornya nih”, meskipun itu gurauan tetapi kata-kata cari operatornya akan dinisbahkan dengan cari istri, karena istri identik dengan pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan rumah tangga identik dengan peran istri. Sebenarnya pun dalam Islam tugas utama istri bukan sekedar menjadi pengurus rumah tetapi punya peran pendidikan dan sosial serta da’wah, sehingga jika kita lihat dalam dalam surah An-Nur tentang tata cara pergaulan dalam rumah disebutkan dengan istilah hamba sahaya, yang sesungguhnya hamba sahaya itu adalah pembantu rumah tangga dalam istilah sekarang. Jadi saat itu pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dilakukan oleh para hamba sahaya. Dari sisi tersebutlah saya sepakat atas tema kajian tersebut.
Cuman saya melihat jika para istri memahami persoalan tersebut secara letterleg sudut pandang fiqih maka akan menjadi boomerang tersendiri bagi para istri. Apa itu, yaitu lunturnya rasa cinta suami kepada istri. Kekwatiran saya selepas kajian tersebut adalah para istri akan berontak dan tidak mau lagi mengerjakan pekerjaan rumah tangga serta menyerahkan semuanya kepada pembantu, maka jika hal tersebut terjadi maka yang akan muncul adalah prahara rumah tangga baru.
Yang harus dipahami adalah adanya naluri seorang suami yang ingin dilayani oleh istrinya. Coba tengok banyak kasus perceraian dan perselingkuhan yang terjadi akibat para suami merasa istrinya sudah tidak bisa melayaninya dengan baik. Saya sering melihat temen-temen kantor saya sangat merasa bangga jika mereka makan bekal buatan istri mereka saat makan siang, yang mereka bawa dari rumah. Meski lauknya sederhana cuman karena yang memasakan adalah orang-orang yang mereka cintai maka semangatnya beda. Saya sendiri pun merasa bangga jika mengundang orang untuk makan di rumah saya dan masakannya dimasak langsung oleh istri saya, rasanya tuh benar-benar mantap karena merasa ada yang bisa saya banggakan kepada tamu saya. Saya pun merasa nyaman dengan baju hasil strikaan istri saya jika saya bandingkan dengan memakai baju hasil setrikaan laundry, apalagi saat dipuji temen kantor karena setrikaan istri dinilai rapi. Lalu gimana kalau para istri itu tidak mau mengerjakan sesuatu yang sifatnya melayani para suaminya…? Saya rasa selama kegiatan atau aktivitas melayani istri tersebut dilandasi dengan rasa ukhuwah dan cinta maka sebenarnya tidak ada yang merasa dirugikan. Meskipun istri saya melakukan semua kegiatan rumah tangga yang ada saya tidak pernah menganggap istri saya adalah pembantu, karena itu jika istri saya merasa capek atau lelah ya saya tidak memaksa untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dan bahkan saya menawarkan diri untuk menggantikannya, begitu pula kadangkala istri saya memaksakan diri untuk melayani saya meskipun sekedar bikin teh panas meskipun saat itu saya tidak memintanya bahkan saya menolaknya, tapi untuk menghargai jerih payah dan niat baiknya serta memberikan kesempatan istri saya untuk berbuat baik akhirnya saya terima saja teh buatan istri saya itu. Bahkan seringkali istri saya memaksakan diri untuk memasak makanan walaupun dia sangat capek sekali, karena itu dia ingin lakukan untuk mewujudkan rasa cintanya, maka sebagai suami pun kita harus memberikan apresiasi. Karena sesungguhnya bagi sebagian para istri pelayanan kepada suami adalah bentuk perhatian istri dan wujud cinta-nya pada suami. Jadi sebenarnya selama pekerjaan istri dalam melakukan pekerjaan – pekerjaan rumah tangga dalam niatan untuk wujudakan rasa cinta dan ukhuwah maka presepsi istri adalah pembantu tidak akan pernah muncul dalam benak seorang suami.
Oleh karena itu agar kesan bahwa suami seolah-olah menganggap istri adalah pembantu rumah tangga bisa dihilangkan jika :
landasi semuanya dengan rasa cinta dan ukhuwah
suami harus menyediakan sarana dan prasarana yang bisa meringankan pekerjaan rumah tangga jika memang suami tidak mampu mencarikan seorang pembantu rumah tangga
suami harus siap membantu istri dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga sebagai wujud rasa ta’awun dan cinta kepada istri
pilah-pilah dan sepakati bersama, pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan oleh oleh orang lain dan pekerjaan rumah tangga apa yang harus di tangani langsung oleh istri sebagai sarana istri untuk mengaktualisasikan rasa cinta dan sayang kepada suami
Jadi bagi saya judul kajian itu harus diberi catatan khusus bahwa itu sebagai bahan tadzkirah untuk para suami yang selama ini terlalu membebankan berlebihan pekerjaan rumah tangga kepada istri dan perlu diberikan pemahaman kepada para istri bahwa melayani suami dan melaksanakan pekerjaan rumah tangga bisa dijadikan sebagai saran aktualisasi rasa cinta kepada suami

ISTRIKU....SAUDARAKU

Pernikahan merupakan sebuah perikatan resmi dalam syariah Islam yang melahirkan hak dan kewajiban bagi seorang istri atau suami. Semua hak dan kewajiban suami itu semua sudah diatur oleh syariat Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. JIka kita melihat pernikahan dari sisi hak dan kewajiban suami atau istri yang lahir dari sebuah akad pernikahan semata maka seakan-akan suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada istri. Hal tersebutlah yang kemudian menimbulkan kritikan pedas dari para kaum feminis, dan menjadi sorotan tajam dari para penganut paham gender, bahwa pernikahan dalam Islam menimbulkan hak dan kewajiban yang tidak menguntungkan bagi seorang wanita dan seolah-olah Islam merendahkan kedudukan wanita dalam struktur keluarga. Kondisi tersebut semakin diperparah oleh salah presepsi dari para suami bahwa memang benar suami mempunyai kedudukan tinggi dalam struktur keluarga, yang sebenarnya presepsi itu ditanamkan oleh budaya-budaya lokal yang melingkupi kehidupan para suami itu, jadi sebenarnya Islam tidak pernah memberikan kedudukan yang lebih tinggi suami atas istri, keduanya memiliki kedudukan yang sama, Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah 187 : “…..mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka…..”. Maka sesungguhya Islampun mengakaui kesamaan gender antara suami dan istri, hubungan suami istri merupakan hubungan saling melengkapi.
Sebenarnya hukum (fiqih) pernikahan (munakahat) hanya merupakan suatu hokum khusus yang dilingkup suatu hukum yang bersifat universal yaitu fiqih ukhuwah. Artinya, dalam hubungan suami istri itu ada hak-hak ukhuwah yang harus ditegakan. Istri bagi suami merupakan saudaranya seaqidah yang harus dipenuhi hak-hak sebagai seorang saudara. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Hujurat ayat 10 “ sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara….”, hubungan suami dan istri dalam lingkup yang lebih besar akan ada hubungan sesame mukmin yang bersaudara, maka istri adalah saudara mukmin bagi suami dan suami pun saudara mukmin bagi seorang Istri. Karena suami istri adalah saudara mukmin maka hak-hak dan kewajiban terhadapap saudara yang mukmin harus ditunaikan seperti ta’aruf, tafahum, ta’awun, takaful, dan itsar.
Maka sesungguhnya jika rukun-rukun ukhuwah ditegakkan dalam hubungan suami-istri maka insyaallah tidak ada presepsi siapa melayani siapa atau siapa dilayani siapa tetapi, yang ada adalah semangat untuk saling melayani satu sama lain, sebagaimana tingkatan tertinggi dalam ukhuwah adalah itsar yaitu mengutamakan saudaranya daripada diri sendiri maka jika dibangun semangat tersebut maka insyaallah kasus KDRT oleh suami terhadap istri atau KDRT oleh istri terhadapa suami tidak akan terjadi.
Jadi sesungguhnya istri kita adalah saudara mukmin kita yang memiliki hak untuk dipenuhi hak-hak ukhuwah sebagai seorang mukmin, insyaallah dengan semangat ukhuwah maka keharmonisan suami istri akan tetap terjaga, dengan semangat ukhuwah maka suami maupun istri saling menjaga perasaan satu dengan yang lain, senantiasa terpacu untuk saling memberi dan saling melayani yang terbaik, dan kesemuanya itu akan bermuara pada nilai ibadah atas hubungan suami istri tersebut, itulah keluarga muslim sesungguh….jadi jangan lupa bahwa istri kita adalah saudara kita maka penuhilah hak-hak saudaramu itu…

Friday, July 25, 2008

NAFKAH ISTRI DAN HARTA ISTRI

Harta isteri adalah harta milik isteri, baik yang dimiliki sejak sebelum menikah, atau pun setelah menikah. Harta isteri setelah menikah yang terutama adalah dari suami dalam bentuk nafaqah (nafkah), selain juga mungkin bila isteri itu bekerja atau melakukan usaha yang bersifat bisnis.
Khusus masalah nafkah, sebenarnya nafkah sendiri merupakan kewajiban suami dalam bentuk harta benda untuk diberikan kepada isteri. Segala kebutuhan hidup isteri mulai dari makanan, pakaian dan tempat tinggal, menjadi tanggungan suami.
Dengan adanya nafkah inilah kemudian seorang suami memiliki posisi qawam (pemimpin) bagi isterinya, sebagaimana firman Allah SWT:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa': 34)
Namun yang seringkali terjadi, sebagian kalangan beranggapan bahwa nafkah suami kepada isteri adalah biaya kehidupan rumah tangga saja. Pemandangan sehari-harinya adalah suami pulang membawa amplop gaji, lalu semua diserahkan kepada isterinya.
Cukup atau tidak cukup, pokoknya ya harus cukup. TInggallah si isteri pusing tujuh keliling, bagaimana mengatur dan menyusun anggaran belanja rumah tangga. Kalau isteri adalah orang yang hemat dan pandai mengatur pemasukan dan pengeluaran, suami tentu senang.
Yang celaka, kalau isteri justru kacau balau dalam memanaje keuangan. Alih-alih mengatur keuangan, yang terjadi justru besar pasak dari pada tiang. Ujung-ujungnya, suami yang pusing tujuh keliling mendapati isterinya pandai membelanjakan uang, plus hobi mengambil kredit, aktif di arisan dan berbagai pemborosan lainnnya.
Padahal kalau kita kembalikan kepada aturan asalnya, yang namanya nafkah itu lebih merupakan 'gaji' atau honor dari seorang suami kepada isterinya. Sebagaimana 'uang jajan' yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya.
Adapun kebutuhan rumah tangga, baik untuk makan, pakaian, rumah, listrik, air, sampah dan semuanya, sebenarnya di luar dari nafkah suami kepada isteri. Kewajiban mengeluarkan semua biaya itu bukan kewajiban isteri, melainkan kewajiban suami.
Kalau suami menitipkan amanah kepada isterinya untuk membayarkan semua biaya itu, boleh-boleh saja. Tetapi tetap saja semua biaya itu belum bisa dikatakan sebagai nafkah buat isteri. Sebab yang namanya nafkah buat isteri adalah harta yang sepenuhnya menjadi milik isteri.
Kira-kira persis dengan nafkah di awal sebelum terjadinya akad nikah, yaitu mahar atau maskawin. Kita tahu bahwa sebuah pernikahan diawali dengan pemberian mahar atau maskawin. Dan kita tahu bahwa mahar itu setelah diserahkan akan menjadi sepenuhnya milik isteri.
Suami sudah tidak boleh lagi meminta mahar itu, karena mahar itu statusnya sudah jadi milik isteri. Kalau seandainya isteri dengan murah hati lalu memberi sebagian atau seluruhnya harta mahar yang sudah 100% menjadi miliknya kepada suaminya, itu terserat kepada dirinya. Tapi yang harus dipastikan adalah bahwa mahar itu milik isteri.
Sekarang bagaimana dengan nafkah buat isteri?
Kalau kita mau sedikit cermat, sebenarnya dan pada hakikatnya, yang disebut dengan nafkah buat isteri adalah harta yang sepenuhnya diberikan buat isteri. Dan kalau sudah menjadi harta milik isteri, maka isteri tidak punya kewajiban untuk membiayai penyelenggaraan rumah tangga. Nafkah itu 'bersih' menjadi hak isteri, di luar biaya makan, pakaian, bayar kontrakan rumah dan semua kebutuhan sebuah rumah tangga.
Mungkin Anda heran, kok segitunya ya? Kok matre' banget sih konsep seorang isteri dalam Islam?
Jangan heran dulu, kalau kita selama ini melihat para isteri tidak menuntut nafkah 'eksklusif' yang menjadi haknya, jawabnya adalah karena para isteri di negeri kita ini umumnya telah dididik secara baik dan ditekankan untuk punya sifat qana'ah.
Saking mantabnya penanaman sifat qana'ah itu dalam pola pendidikan rumah tangga kita, sampai-sampai mereka, para isteri itu, justru tidak tahu hak-haknya. Sehingga mereka sama sekali tidak mengotak-atik hak-haknya.
Memandang fenomena ini, salah seorang murid di pengajian nyeletuk, "Wah, ustadz, kalau begitu hal ini perlu tetap kita rahasiakan. Jangan sampai isteri-isteri kita sampai tahu kalau mereka punya hak nafkah seperti itu."
Yang lain menimpali, "Setuju stadz, kalau sampai isteri-isteri kita tahu bahwa mereka punya hak seperti itu, kita juga ntar yang repot nih ustadz. Jangan-jangan nanti mereka tidak mau masak, ngepel, nyapu, ngurus rumah dan lainnya, sebab mereka bilang bahwa itu kan tugas dan kewajiban suami. Wah bisa mejret nih kita-kita, ustadz."
Yang lain lagi menambahi, "Benar ustadz, bini ane malahan sudah tahu tuh masalah ini. Itu semua kesalahan ane juga sih awalnya. Sebab bini ane tuh, ane suruh kuliah di Ma'had A-Hikmah di Jalan Bangka. Rupanya materi pelajarannya memang sama ame nyang ustadz bilang sekarang ini. Cuman bini ane emang nggak tiap hari sih begitu, kalo lagi angot doang."
"Tapi kalo lagi angot, stadz, bah, ane jadi repot sendiri. Tuh bini kagak mao masak, ane juga nyang musti masak. Juga kagak mau nyuci baju, ya udah terpaksa ane yang nyuciin baju semua anggota keluarga.Wii, pokoknya ane jadi pusing sendiri karena punya bini ngarti syariah."
Menjawab 'keluhan' para suami yang selama ini sudah terlanjur menikmati ketidak-tahuan para isteri atas hak-haknya, kami hanya mengatakan bahwa sebenarnya kita sebagai suami tidak perlu takut. Sebab aturan ini datangnya dari Allah juga. Tidak mungkin Allah berlaku berat sebelah.
Sebab Allah SWT selain menyebutkan tentang hak-hak seorang isteri atas nafkah 'eksklusif', juga menyebutkan tentang kewajiban seorang isteri kepada suami. Kewajiban untuk mentaati suami yang boleh dibilang bisa melebihi kewajibannya kepada orang tuanya sendiri.
Padahal kalau dipikir-pikir, seorang anak perempuan yang kita nikahi itu sejak kecil telah dibiayai oleh kedua orang tuanya. Pastilah orang tua itu sudah keluar biaya besar sampai anak perawannya siap dinikahi. Lalu tiba-tiba kita kita datang melamar si anak perawan itu begitu saja, bahkan kadang mas kawinnya cuma seperangkat alat sholat tidak lebih dari nilai seratus ribu perak.
Sudah begitu, dia diwajibkan mengerjakan semua pekerjaan kasar layaknya seorang pembantu rumah tangga, mulai dari shubuh sudah bangun dan memulai semua kegiatan, urusan anak-anak kita serahkan kepada mereka semua, sampai urusan genteng bocor. Sudah capek kerja seharian, eh malamnya masih pula 'dipakai' oleh para suaminya.
Jadi sebenarnya wajar dan masuk akal kalau untuk para isteri ada nafkah 'eksklusif' di mana mereka dapat hak atas 'honor' atau gaji dari semua jasa yang sudah mereka lakukan sehari-hari, di mana uang itu memang sepenuhnya milik isteri. Suami tidak bisa meminta dari uang itu untuk bayar listrik, kontrakan, uang sekolah anak, atau keperluan lainnya.
Dan kalau isteri itu pandai menabung, anggaplah tiap bulan isteri menerima 'gaji' sebesar sejuta perak yang utuh tidak diotak-atik, maka pada usia 20 tahun perkawinan, isteri sudah punya harta yang lumayan 20 x 12 = 240 juta rupiah.
Lumayan kan?
Nah hartai tu milik isteri 100%, karena itu adalah nafkah dari suami. Kalau suami meninggal dunia dan ada pembagian harta warisan, harta itu tidak boleh ikut dibagi waris. Karena harta itu bukan harta milik suami, tapi harta milik isteri sepenuhnya. Bahkan isteri malah mendapat bagian harta dari milik almarhum suaminya lewat pembagian waris.
(Disalin dari rubrik konsultasi eramuslim.com)

Tuesday, June 17, 2008

PERAN BESAR AYAH DALAM PENDIDIKAN ANAK

Selama ini kebanyakan masyarakat menganggap bahwa peran pendidikan ada di tangan ibu semata, sehingga kita seperti kehilangan figur seorang ayah yang memiliki kemampuan untuk mentarbiyah anak-anak dan keluarganya. Sosok ayah terlalu sering dimunculkan dalam figur keperkasaan dan kepahlawanan, sehingga peran ayah dalam pendidikan sedikit dibahas dan minim menjadi bahan kajian masyarakat sekarang. Minimnya figur-figur ayah yang sukses dalam mendidik anak yang diungkap dalam sirah Rasulullah dan para sahabat semakin memperkuat berkembangnya persepsi bahwa pendidikan anak-anak adalah tanggung jawab sang ibu.


Tak ada yang menafikan peran - peran besar yang berada di tangan seorang ibu bagi masa depan anak-anaknya. Ibu bagaimanapun mempunyai pengaruh penting dalam kepribadian seorang anak sehingga mereka bisa merasakan kenyamanan, keteguhan, dan kepercayaan diri yang kuat dalam menjalani kehidupannya. Lalu bagaimana peran ayah? Sebagian besar masyarakat cenderung berpandangan bahwa pengasuhan dan pendidikan anak adalah tugas ibu, sedangkan tugas ayah cukup bekerja dan mencukupi kebutuhan materi. Sang ayah sibuk bekerja sedangkan sang ibu sibuk mengurus anak di rumah.


Bagaimana pandangan Islam terhadap peran ayah dalam keluarga ? Ini pertanyaan unik dan penting untuk dikaji lebih dalam. Karena ternyata sejarah hidup para ulama besar dan para salafushalih umumnya dilatarbelakangi sentuhan pendidikan yang diberikan ayahnya. Bahkan dalam Al-Qur'an pun tidak ada satupun dialog antara anak dan orang tua mewakili ibu, yang ada justru dialog antara ayah dan anak, kisah seorang nabi pun yang diasuh ibunya sejak kecil yakni nabi Ismail as banyak menggambarkan dialog antara Nabi Ismail dengan sang ayah yaitu Nabi Ibrahim. Salah satu dialog antara Nabi Ibrahim dengan Nabi Ismail adalah dalam surat Shaffat ayat 102 "Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab: Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintah kepadamu, Insayaallah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Jika membaca surat tersebut biasanya terbersit dalam pikiran kita tentang kandungan ayat ini adalah bagaimana kehebatan dan kekuatan tekad sang anak, Nabi Ismail, merespon mimpi yang disampaikan sang ayah Nabi Ibrhim. Umumnya pembahasan ayat ini fokus pada konteks pengorbanan Ismail sang anak demi memenuhi perintah Rabbnya. Tetapi sesungguhnya sudut pandang terhadap ayat ini masih penting untuk dikaji lebih dalam. Karena bagaimanapun sang anak tak bisa terdidik dan memiliki sikap yang begitu kuat begitu saja tampa ada sentuhan pendidikan dan pembinaan dari orang tuannya. Dalam hal ini Nabi Ibrahim terbukti telah berhasil menanamkan pendidikan tauhid yang agung dalam jiwa sang anak. Dan Ismail telh membuktikan bagaimana hasil pendidikan sang ayah dalam sikapnya yang rela berkorban apapun demi terlaksanannya perintah Allah.


Ayah merupakan sosok penting dalam bangunan umat Dalam sebuah keluarga, ayah adalah salah satu batu bata yang menopang bangunan umatIslam. Jika para ayah berhasil menunaikan misinya dalam keluarga, akan kokohlah bangunan umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan. Sebaliknya sikap abai ayah dalam menjalankan misinya dalam keluarga maka akan lemah dan rapuhnya bangunan umat ini. Ada banyak peran ayah dalam Islam yang harus ditunaikan dengan benar sebagaimana hadist Rasulullah "setiap kalian adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, seorang amir adalah pemimpin atas rakyatnya dan dia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, seorang laki-laki adalah pemimpin di keluarganya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, seorang perempuan adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan anaknya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, seorang hamba sahaya adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya (HR Bukhari). Ayah yang telah menunaikan kewajibannya berarti telah terbebesar dari tanggung jawabnya di hadapan Allah pada hari kiamat kelak. Allah berfirman " Hai orang2 beriman lindungilah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Di sana ada malaikat yang kasar dan keras, tidak melanggar perintah Allah kepada mereka dan mereka melakukan apa yang diperintahkan. (QS At-Tahrim:6)


Semua bentuk dan tata cara pendidikan Islam tentang hubungan sang ayah terhadap keluarganya juga dijelaskan dalam hadist Rasulullah. Karena jika kita mengetahui bahwa Rasulullah menikah dan mempunyai keluarga itu sebenarnya merupakan jawaban bagi orang yang berpaling dari kewajibannya kepada istri dengan alasan mengerahkan kegiatannya untuk berda'wah, karena Rasulullah seorang mujahid yang paling agung, dan juru da'wah yang paling mulia dia itu menikah dan juga membina rumah tangganya. Dalam salah satu hadist disebutkan Rasulullah tertawa bersama anak-anak. Rasulullah bahkan menggendong anak-anak dan sholat bersama anak-anak. Abu Qatadah menyebutkan bahwa Rasulullah shalat bersama kami sambil menggendong Umamah binti Zainab. Jika ia sujud diletakkannya Umamah, bila ia berdiri digendongnya. Adapula hadist dari An-Nasai yang berasal dari Abu Barrah Al-Ghifari bahwa Rasulullah shalat bersama sahabatnya lalu beliau sujud, ketika itu datanglah Hasan yang tertarik melihat Rasulullah sedang sujud, lalu naikla Hasan ke punggung Rasulullah yang mulia saat beliau sedang sujud. Usai shalat beliau meminta maaf kepada jamaah shalat dan mengatakan " Anakku tadi naik ke punggungku lalu aku kwatir bila aku bangun dan menyakitinya, maka akau menunggu sampai ia turun". Betapa tingginya perhatian Rasulullah terhadap anak-anak.


Ada dua tahapan penting yang harus dilalaui oleh seseorang untuk dapat menjalankan perannya sebagai ayah dalam pendidikan anak-anak dan keluarga. Tahapan pertama untuk dapat menjadi sosok ayah yang dapat menunaikan kewajibannya dalam pendidikan anak-anak dan keluarga adalah dimulai dari memilih perempuan yang akan menjadi calon pendamping hidupnya. Tahapan ini menjadi tahapan pertama dan utama bagi seseorang untuk dapat menjadi ayah yang memiliki peran sebagai pendidik anak-anak yang akan menjadi keturunannya, karena tahapan ini merupakan tahapan untuk menyiapkan lingkungan keluarga yang kondusif bagi pendidikan dan perkembangan anak-anak. Kondisi keluarga sangat menjamin perkembangan jiwa anak-anak. Kondisi keluarga yang penuh kasih sayang, penuh perhatian, dan kepedulian akan meyebabkan keluarga saling menghormati dan saling menghargai. Hubungan suami dan istri merupakan salah satu yang mewakili kondisi keluarga. Kondisi lingkungan keluarga yang mendukung tujuan pendidikan akan sangat membantu anak-anak untuk memiliki perilaku yang baik.

Thursday, June 12, 2008

LIKE FATHER LIKE SON

Part One

Seseorang lelaki datang menghadap amirul mukminin, Umar bin Khattab ra. Ia melaporkan kepada Rasulullah tentang kedurhakaan anaknya. Khalifah Umar lantas memanggil anak yang dikatakan durhaka itu dan mengingatkannya tentang bahaya durhaka kepada orang tua. Saat ditanya sebab kedurhakaannya dia mengatakan "wahai amirul mukminin, tidakah seorang anak mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh orang tuanya?" "Ya", jawab amirul mukminin, "Apakah itu ?" tanya anak itu. Khalifah Umar menjawab "Ayah wajib memilihkan ibu yang baik buat anak-anaknya, memberi nama yang baik dan mengajarinya Al-Qur'an". Lantas sang anak tadi menjawab " Wahai amirul mukminin, tak satupun dari tiga perkara itu yang ditunaikan ayahku. Ibuku majusi, namaku Ja'lan, dan aku tidak pernah diajari membaca Al-Qur'an". Umar kemudian menoleh kepada ayah anak tadi dan mengatakan "Anda datang mengadukan kedurhakaan anakmu, ternyata anda telah mendurhakainya sebelum ia mendurhakaimu. Anda telah berlaku tidak baik terhadapnya sebelum ia berlaku tidak baik kepada anda".


Part Two

"Siapa yang menjamin hidupmu sampai setelah waktu dhuhur ?" pertanyaan itu terlontar dari mulut seorang pemuda kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tokoh pemimpin yang bergelar khulafarasyidin kelima. Ketika itu khalifa yang terkenal keadilannya itu sangat tersentak dengan perkataan pemuda tadi. Terlebih saat itu ia sedang merebahkan dirinya untuk beristirahat setelah menguburkan khalifah sebelumnya, Sulaiman bin Malik. Tapi baru saja ia merebahkan tubuhnya, seorang pemuda berusia tujuh belasan tahunan mendatanginya dan mengatakan "Apa yang ingin engkau lakukan ya Amirul Mukminin ?" Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjawab "Biarkan aku tidur sejenak. Aku sangat lelah dan capek, nyaris tak ada kekuatan yang tersisa". Namun pemuda tadi nampak tidak puas dengan jawaban tadi, ia bertanya lagi "Apakah engkau akan tidur sebelum mengembalikan barang yang diambil secara paksa kepada pemiliknya ya Amirul Mukminin ?" Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengatakan "Jika tiba waktu dhuhur saya bersama orang-orang akan mengembalikan barang-barang tersebut kepada pemiliknya" Jawaban itulah yang kemudian ditanggapi oleh pemuda tersebut "Siapa yang menjaminmu hidup sampai setelah waktu dhuhur ya Amirul mukminin ?". Pemuda itu bernama Abdul Malik, putera amirul mukminin itu sendiri, Umar bin Abdul Aziz, semoga Allah merahmati keduanya.


Kedua penggalan cerita tersebut diadopsi dari buku "Cinta di Rumah Hasan Al-Banna" karya Muhammad Lili Nur Aulia terbitan Pustaka Da'watuna 2007. Semoga cerita tersebut memberikan hikmah kepada para ayah dan calon para ayah tentang tugas, kewajiban dan peran bagi pendidikan dan pembentukan karakater bagi anak-anaknya. Tugas mendidik anak bukan tugas seorang ibu semata, tapi seorang ayah mempunyai tugas besar untuk membuat kerangka bagi pendidikan anak-anaknya, baru kemudian ibu mempunyai tugas untuk mengisi kerangka tadi. Bagaimana akhlak dan karakter anak kita sangat tergantung pada akhlak dan karakter ayahnya. Ada tiga tugas utama ayah dalam pendidikan anak-anak yaitu: memilihkan ibu yang baik, mengajarkan Al-Qur'an, dan memberikan contoh dan teladan yang baik. Tanah yang baik akan menumbuhkan tanaman-tanaman yang subur, tanah yang tidak baik akan menumbuhkan tanaman yang merana. Tugas ayah adalah menyiapkan tanah yang baik dalam keluarga agar anak-anak itu bisa tumbuh subur, dan tugas ibu adalah memelihara anak-anak itu supaya tumbuh dengan subur.

Monday, June 9, 2008

MENJADI AYAH IDOLA


Saya sangat terkejut, gembira, terharu, dan cemas saat mendengar jawaban anak pertama saya ketika saya tanya "Iziz mau jadi apa jika besar nanti ?". "Ingin jadi seperti ayah, pakai kacamata, dan baca buku" jawabnya penuh semangat. Rupanya dia ingat terus tentang cerita bahwa penyebab saya memakai kacamata adalah karena suka membaca buku sambil tidur. Karena itu sekarang dia suka baca buku, bahkan sebelum tidur dia harus baca buku walaupun dibacakan oleh bundanya.
Saya gembira dan terharu mendengar jawaban anak saya itu, alhamdulillah berarti saya bisa menjadi ayah yang baik dan menjadi idola dihadapan anak sendiri. Tetapi muncul juga perasaan cemas di hati saya, karena menjadi ayah idola dihadapan anak-anak adalah beban berat bagi saya. Saya takut anak-anak tidak menyadari bahwa ayahnya adalah manusia biasa yang tidak bisa selalu sempurna dihadapan mereka. Selain itu dengan menjadi ayah idola bagi anak-anak menjadikan beban bagi saya untuk senantiasa memberikan contoh terbaik, dan berupaya untuk selalu tampil "sempurna".
Diantara rasa bangga dan rasa cemas sebagai ayah idola anak-anak, maka rasa cemas lebih mendominasi dalam diri saya. Karena harapan yang besar atas kesempurnaan sebagai ayah bisa memunculkan kekecewaan mendalam bagi anak-anak. Jalan satu-satunya adalah memberikan kesadaran dan pemahaman bahwa sosok ayah adalah sebagai manusia biasa yang tak luput dari kelemahan dan kesalahan. Oleh karena itu saya senantiasa mengucapkan kata maaf kepada anak saya jika saya berbuat salah atau tidak mampu memenuhi keinginan dan harapan mereka walau sekecil dan sesederhana apapun kesalahan dan kelemahan itu. Saya berupaya menjelaskan kenapa saya salah atau kenapa saya tidak bisa memenuhi harapan mereka, dengan harapan ada kesadaran bahwa ayahnya juga bisa salah, dan sebagai manusia harus mengakui kesalahan dan kelemahan itu serta berupaya untuk memperbaikinya.
Di balik rasa cemas itu, saya mencoba untuk mengambil sisi positif menjadi ayah idola bagi anak-anak. Sisi positf menjadi ayah idola adalah sebagai pemicu bagi seorang ayah untuk senantiasa menjadi inspirasi bagi anak-anaknya untuk berbuat kebaikan dan mencetak prestasi. Sehingga anak-anak adalah sumber inspirasi bagi diri seorang ayah untuk senantiasa berupaya berbuat kebaikan dan prestasi. Oleh karena itu menjadi ayah idola berarti menjadikan sosok ayah sebagai sumber inspirasi bagi anak-anak dalam berbuat dan bertindak dalam kebaikan, sekaligus menjadikan anak-anak sebagai sumber inspirasi bagi seorang ayah untuk senantiasa berbuat baik dan berprestasi dalam segala hal. Sehingga men-tarbiyah diri kita sebagai ayah secara sempurna sesungguhnya merupakan proses untuk mentarbiyah anak-anak kita. Itu semua akan terjadi jika kita mampu menjadi sosok ayah idola yaitu sosok ayah yang senantiasa menginspirasi anak-anaknya untuk berbuat baik, komitmen pada kebaikan, dan senantiasa untuk berprestasi dalam segala amal perbuatan

Wednesday, June 4, 2008

ANTARA SURABAYA - LUMAJANG ADA NILAI TARBIYAH

Hampir dua tahun sudah saya terpaksa jalani kehidupan berpisah dengan anak dan istri, dan terpaksa harus pulang pergi Surabaya - Lumajang tiap dua pekan sekali. Saya katakan "terpaksa" karena memang kondisi saat ini bukanlah sesuatu yang ideal. Karena yang disebut dengan keluarga adalah adanya proses penyatuan anggota keluarga inti yaitu ayah, ibu, dan anak, jika tidak ada salah satu elemen itu dalam satu tempat utamanya ayah dan ibu maka tidak layak untuk disebut sebagai sebuah keluarga. Kondisi ini memang terpaksan harus kami jalani sampai kami bisa menemukan "peta hidup" yang jelas dalam mengarungi samudra kehidupan ini bersama-sama. Jadi kondisi ini bukan sesuatu yang kami inginkan, tapi karena kondisi dan keadaan yang menjadikan kami harus menjalani pola rumah tangga seperti ini, dan kami berusaha dan senantiasa berusaha sampai detik ini untuk merentas "peta hidup" yang jelas bagi kami.

Jelas, perasaaan pertama yang muncul adalah SEDIH. Sedih karena harus berpisah dalam waktu sementara dengan anak dan istri, sedih pula karena tidak bisa optimal dalam memberikan kontribusi bagi da'wah. Terpisahnya kami jelas menghilangkan status kami sebagai warga masyarakat kurang lengkap, dan rasa hilangnya keanggotaan sebagai anggota masyarakat sangat saya rasakan sekali selama hidup sendiri di Surabaya. Sehingga optimalisasi peran untuk aktif dalam kegiatan masyarakat dan aktif melakukan pendidikan serta pencerahan keIslaman di masyarakat menjadi sangat terbatas. Hal tersebut jelas sangat tidak sesuai dengan kaidah kita sebagai da'i yaitu nahnu minhum wa nahnu maahum - kita adalah bagian dari masyarakat dan kita bekerja untuk masyarakat- menjadi tereliminasikan dari kehidupan saya di Surabaya. Mungkin untuk istri dan anak masih bisa berperan secara optimal dalam hal tersebut karena mereka berada dalam keluarga besar saya. Rasa sedih yang lain adalah tidak bisa optimal untuk memantau perkembangan anak-anak dari hari ke hari, dan sedikitnya waktu untuk bencengkrama dengan mereka.

Di balik kesedihan-kesedihan itu ada hal lain yang bisa menghibur diri saya. Pertama, ternyata tidak hanya saya saja yang menjalani kehidupan seperti ini, banyak keluarga-keluarga lain yang memiliki problem seperti saya, bahkan mungkin kondisinya lebih sulit dari apa yang sedang saya hadapi. Sehingga kadang saya bisa sedikit menghibur diri jika membandingkan dengan orang-orang yang memiliki probelm seperti saya. Bayangkan ada yang harus bertemu dengan anak dan istrinya hanya dua bulan sekali atau lebih karena jauhnya tempat kerja dan tempat tinggal. Bahkan ada yang terjebak akan menjalani kehidupan berpisah itu agak permanen karena suami istri sama-sama kerja, dan salah satunya harus dimutasi ke luar kota, dan istrinya tidak bisa ikut serta karena terkendala aturan sehingga tidak jelas kapan bisa menyatu lagi. Tetapi ada juga yang sedikit memberi motivasi kepada saya yaitu ada keluarga yang menjalani kehidupan berpisah ini berpuluh-puluh tahun, suaminya kerja di Jakarta dan istrinya kerja di Jember, maka terpaksalah tiap minggu dia harus pulang balik Jakarta - Jember. Dan yang sedikit menghibur saya juga ternyata makin hari makin banyak orang yang memiliki masalah seperti saya yang harus hidup berpisah karena pekerjaan, tetapi tetap bagi saya orang-orang yang hidup seperti saya adalah kumpulan orang yang punya masalah. Dan saya yakin, saya masih punya harapan besar untuk bisa lebih dulu keluar dari masalah ini daripada mereka, insyaallah, biidznillah.....

Hal lain yang menghibur saya dibalik kesedihan ini adalah adanya nilai tarbiyah tersendiri bagi saya dan keluarga. Selama menjalani kehidupan ini ada ada nilai tarbiyah at-tadhiyah dan at-tajarrud dalam da'wah. Saya dan keluarga mencoba untuk memahami dan mengamalkan peringatan Allah dalam surat At-Taubah 24: "Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu kwatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah yang lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasulnya, dan berjihad di jalan Allah, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusannya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq". Sungguh sangat terasa sekali perasaan yang digambarkan dalam surat At-Taubah tersebut yaitu setiap akhir pekan maka ujian itu akan muncul. Pada akhir pekan itu ada rasa rindu yang kuat untuk bertemu anak dan istri, tetapi di sisi lain ada seruan-seruan da'wah berupa agenda-agenda da'wah yang harus dilaksanakan, maka disitulah godaan setan dalam "rasa malas" mulai muncul. Jika rasa itu muncul maka yang ada dalam benak kita adalah keinginan untuk ijin dan cari-cari alasan untuk tidak terlibat dalam agenda da'wah tadi dengan melakukan pembenaran-pembenaran alasan kita.

Awalnya memang sulit untuk saya lakukan untuk bisa belajar berkorban. Tetapi lambat laun saya mulai bisa menikmati kewajiban harus berkorban itu. Dan saya mulai belajar makna berkorban itu. Yang dimaksud dengan pengorbanan adalah kita memberikan segala sesuatu yang paling berharga yang kita miliki, artinya sesuatu itu nilainya mahal bagi diri kita sehingga pada saat mau memberikan sesuatu itu ke orang lain kita menjadi berat untuk melakukannya. Karena itulah orang-orang yang bisa memberikan harta yang paling berharga yang dimiliki mendapatkan nilai yang baik sekali di mata Allah. Karena itulah Allah dalam salah satu ayat di surat Al-Imran mengatakan bahwa tanda-tanda orang muttaqien adalah memberikan hartanya baik di waktu lapang maupun sempit. Bahkan ada salah satu taujih dari seorang ustads yang mengatakan bahwa suatu amalan akan mendapatkan pahala yang tinggi dihadapan Allah jika pada saat kita mau mengerjakan suatu amalan kebajikan itu lalu timbul rasa malas dan enggan untuk mengerjakan tetapi kemudian kita berusaha melawan dengan keras yang akhirnya kita mampu melaksanakan amal kebajikan itu maka ada pahala yang besar atas itu semua. Atau dengan kata lain setiap kebajikan yang kita lakukan dalam keadaan mengalami kesempitan maka pahalanya lebih baik daripada kebajikan yang kita lakukan pada saat kita lapang. Kenapa lebih baik pahalanya? karena pada saat itu kita mendapatkan dua pahala sekaligus yaitu pahala atas kebaikan yang kita lakukan, dan pahala atas pengorbanan yang kita usahakan untuk melakukan kebaikan itu. Misalkan kita mau berinfaq saat kita sedang mempunyai rezeki banyak maka itu adalah sesuatu yang wajar bahkan wajib untuk dilakukan bagi orang yang memiliki kelebihan harta, tetapi coba bandingkan nilai pahalanya jika infaq itu kita lakukan pada saat kita sedang tidak punya uang, maka ada perasaan berat untuk melakukan tetapi karena dorongan untuk mendapat ridho Allah maka kita siap berkorban untuk melakukan kebaikan tersebut. Atau bandingkan nilai infaq kita yang sama-sama Rp 1.000,-, satu kondisi kita menginfaqkan uang Rp 1.000,- karena memang uang tersebut telah rusak sehingga kita merasa malu untuk menggunakannya dengan kita menginfaqkan uang Rp 1.000,- karena betul-betul ingin mendapatkan ridho Allah, maka nilai pahala kondisi yang kedua lebih baik.

Oleh karena itu wajar kemudian sholat tahajud atau qiyamul lail mendapatkan pahala yang tinggi dihadapan Allah, karena ada nilai tarbiyah at-tadhiyyah di dalamnya. Sehingga pada awal-awal Islam di Mekkah sholat tahajud menjadi wajib, dan hasilnya betul-betul bisa melahirkan sosok para sahabat dan generasi muslim yang siap berkorban untuk Allah dan Rasul-Nya. Jadi tidak layak disebut sebagai pengorbanan jika apa yang kita korbankan itu bukan sesuatu yang berharga bagi kita. Karena itulah kenapa jihad dengan mengorbankan nyawa adalah kemulian yang paling tinggi dihadapan Allah, karena kita rela dan ikhlas mengorbankan sesuatu yang paling berharga bagi setiap manusia, sehingga motivasi yang senantiasa dikorbankan dalam setiap diri seorang muslim adalah orang-orang kafir itu berperang untuk mencari kematian sedangkan seorang muslim berperang untuk mencari kehidupan.


Setiap akhir pekan itulah tarbiyah at-tadhiyah diberikan kepada saya. Bagi saya bertemu dan berkumpul bersama anak dan istri merupakan suatu yang sangat mahal bagi saya. Pinginnya setiap minggu bisa pulang, tapi pada akhir pekan itulah agenda da'wah sering muncul. Sehingga tantangan bagi saya untuk menguji nilai tadhiyah dalam da'wah ini dalam diri saya dan keluarga saya. Karena itu kadangkala saya kurang respek jika ada seseorang yang ijin atau menolak untuk melakukan seruan dan agenda-agenda da'wah hanya karena sabtu atau ahad adalah hari keluarga dengan alasan perlu waktu dg keluarga, padahal menurut saya itu bukan suatu hal yang berat, karena mereka tiap hari masih bisa bertemu dan berkomunikasi dengan anak dan istrinya..? Bahkan ada yang tidak mau di ganggu pada hari Ahad karena menjdi acara keluarga. Sebenarnya alasan itu semua bisa diatasi jika ada nilai tadhiyah dalam diri kita dan kita mampu mengaplikasikan pemahaman at-tajarud dalam da'wah, yaitu totalitas dalam da'wah.

Ya...at-tajarud merupakan nilai tarbiyah yang lain yang saya dapatkan selama menjalani kehidupan berpisah ini. Karena selama saya ada di Surabaya maka otomatis istri saya menjadi single parent bagi anak-anak. Yang menjadi tantangannya adalah saat istri harus menghadiri suatu agenda da'wah dan anak-anak harus ditinggal maka perlu adanya pelibatan kelurga besar untuk membantu istri dalam mengasuh anak-anak. Belum lagi ini merupakan pelajaran berharga bagi anak-anak untuk belajar berkorban untuk da'wah, memahami aktivitas da'wah orang tuanya, dan bisa menyesuaikan dengan aktivitas da'wah. Inilah makna tajarud dalam da'wah yaitu bagaimana mengoptimalkan seluruh potensi keluarga untuk mendukung aktivitas da'wah sesuai dengan peran masing-masing.

Mudah-mudahan dibalik ujian ini bisa memberikan tarbiyah bagi kami sekeluarga untuk lebih istiqomah dalam da'wah. Amin



Wednesday, May 28, 2008

MAKNA MAHAR

Mahar merupakan salah satu syarat sah sebuah akad nikah yang pada zaman modern saat ini mulai mengalami pergeseran nilai. Pemberian mahar pada saat ini hanya dianggap sebagai salah satu bagian dalam ritualitas akad nikah sehingga tujuan syari (al-maqosid syariah) dari kewajiban mahar tereduksi oleh nilai-nilai lain selain Islam. Sehingga wajar jika pemberian mahar atau bentuk mahar yang diberikan atau diminta saat ini aneh-aneh bentuk dan nilainya. Ada mahar yang berupa sejumlah uang dg nilai sesuai dengan tanggal nikah, ada juga mahar berupa kumpulan uang yang dibentuk menyerupai benda tertentu. Bahkan ada mahar dalam bentuk skripsi, ijazah kelulusan, dan lain sebagainya. Mahar yang paling sederhana dan paling umum di masyarakat kita adalah mahar seperangkat sholat dan al-qur'an yang telah menjadi tradisi turun temurun, entah darimana asalanya yang jelas mahar tanpa dua benda tersebut dirasa kurang "afdhol". Dan yang sering terjadi salah kaprah juga terjadi dikalangan para aktivis da'wah, ada sebuah kesan bahwa jika maharnya berupa hafalan satu surat atau beberapa ayat Al-Qur'an seakan-akan itu sesuatu yang hebat, sesuatu yang sangat berharga, dan seakan-akan menjadi bentuk mahar yang paling baik, padahal asumsi dan kesan tersebut sama saja menjadikan nilai dan makna mahar dari sisi Al-Maqosid syariah menjadi hilang.
Mari kita tengok peristiwa-peristiwa pernikahan Rasulullah dan para sahabat, utamanya bentuk maharnya seperti apa. Rasulullah pada saat menikahi Khadijah maharnya adalah puluhan unta, yaitu kurang lebih 40 unta (bisa dicek jumlah tepatnya dalam sirah) dan sejumlah emas, yang jika diuangkan dalam masa kini mahar Rasulullah saat menikahi khadijah kurang lebih 1/2 milyar. Ada juga sahabiah hindun yang akan menikah dg abu sofyan meminta mahar dg keislaman abu sofyan. Bahkan ada seorang sahabat yang menikah hanya memberi mahar bacaan Al-Qur'an karena saat itu dia tidak memiliki apa-apa. Memang bentuk dan rupa mahar tidak ada ketentuan yang jelas dalam syariat Islam, cuman Rasulullah memberikan rambu-rambu bahwa mahar itu harus sesuatu yang mempunyai nilai bagi mempelai putri walau itu berupa cincin dari besi, dan tidak memberatkan bagi pihak laki-laki. Dan pada saat ada sahabat yang ingin menikah tapi tidak mampu memberikan mahar maka Rasulullah menyuruh sahabat tadi menikah dg mahar hafalan Al-Qur'an yang dia miliki. Bahkan beberapa ulama fiqih saat ini menyatakan mahar yang diberikan itu harus sesuatu yang produktif bukan hanya bernilai saja.
Tujuan pemberian mahar dalam prespektif al-maqosid syariah adalah untuk menjaga kemulian wanita. Mungkin tujuan ini sekilas tidak nyambung dengan pemberian mahar, bahkan para orientalis menyatakan mahar itu melecehkan kaum wanita karena wanita diibaratkan dengan barang dagangan. Para orientalis menganggap pemberian mahar ibarat proses barter dalam perdagangan. Itulah pikiran picik dari para orientalis. Memang manfaat mahar untuk menjaga kemulian wanita pada saat menikah tidak terasa, nuansa dan rasa yang ada hanyalah nuansa untuk membandingkan nilai mahar dengan nilai wanita. Sehingga wajar kemudian masyarakat saat ini menjadikan mahar hanya sebatas ritualitas dalam akad nikah yaitu hanya sekedar menggugurkan suatu kewajiban agar dapat terlaksananya suatu hukum, karena mereka sudah "teracuni" oleh pemikiran para orientalis tersebut.
Mahar yang diterima oleh seorang istri akan menjadi harta pribadi milik sang istri, sehingga istri mempunyai hak penuh untuk mengelolanya tampa harus tunduk atau dibawah perintah suami. Suami tidak boleh menggunakan harta yang berasal dari mahar tersebut tampa se-ijin istri. Mulai dari pemahaman atas kedudukan mahar dalam masalah status harta maka akan menjadi jalan masuk kita untuk memahami bahwa mahar adalah untuk menjaga kemulian wanita. Jika mahar yang menjadi harta milik wanita maka bisa dibayangkan jika maharnya adalah harta yang produktif seperti sapi, kerbau, tanah pertanian, mobil, uang, emas dll maka harta tersebut akan dapat digunakan oleh istri untuk melakukan investasi dan usaha yang akan menjamin kebutuhannya sehingga dia tidak perlu lagi bekerja di luar, dan tidak perlu lagi untuk "mengemis" uang nafkah ke suami. Sehingga kemandiriannya sebagai wanita akan terwujud, dan kemualiannya akan terjaga karena akan banyak terhindar dari kasus KDRT yang sering terjadi akibat lemahnya kedudukan wanita dalam rumah tangga. Dan yang lebih terasa lagi manfaatnya adalah jika suaminya meninggal dan meninggalkan beberapa orang anak, maka selain harta warisan sang suami, harta dari mahar pun akan mampu menjaga kemualian seorang wanita pada saat dia berstatus janda. Dengan harta mahar yang besar dan bernilai serta produktif maka seorang janda tidak akan kebingungan untuk memikirkan nafkah dan biaya hidup untuk diri dan anak-anaknya, sehingga dia tidak perlu "mengemis" ke orang lain. Coba bayangkan jika mahar kita hanya seperangkat alat sholat dan Al-Qur'an, atau hanya hafalan hadist dan ayat Al-Qur'an, atau sejumlah uang dan benda-benda yang tidak jelas nilainya, maka mahar itu tidak bisa menjadi harta bagi istri kita yang bisa menjaga kemulian dia sebagai wanita pada saat menjadi istri atau pun saat dia menjadi janda. Itulah makna dan maksud kenapa mahar itu menjadi salah satu syarat syahnya akad nikah. Semakin besar nilai manfaat dan nominal dari mahar yang kita berikan kepada istri kita menunjukkan semakin tinggi rasa tanggung jawab kita sebagai suami untuk menjaga kemulian seorang wanita dan istri sehingga kita memang pantas untuk bisa menjadi lelaki yang qowam.
Maksud lain dari mahar adalah untuk menjaga nilai-nilai dari pernikahan itu sendiri. Bayangkan jika mahar itu hanya seperangkat alat sholat dan Al-Qur'an saja, atau hanya hafalan ayat Al-Qur'an atau hadist maka manusia akan cenderung untuk melecehkan nilai sakral dari pernikahan itu sendiri. Yaitu dengan mudahnya orang akan melakukan kawin cerai karena rendahnya nilai mahar tadi. Jika nilai maharnya besar maka menunjukkan keseriusan seseorang untuk menikah dan membangun rumah tangga yang islami. Patut kita cermati bahwa mahar dalam nilai yang rendah sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa sahabat itu hanyalah "Rukhsah" yang sifatnya meringankan agar hukum menikah bisa dilaksanakan, artinya mahar dalam bentuk hafalan Qur'an dalam konteks para sahabat tersebut bersifat "emergency". Lalu kenapa sekarang masyarakat banyak mengambil sesuatu untuk menjadi mahar yang bersifat "emergency"..? Seharusnya mahar seperangkat alat sholat dan Al-Qur'an hanyalah dibolehkan untuk mereka yang miskin dan tidak mampu, tapi kenyataannya artis, pejabat, pengusaha, dll jika menikah maharnya banyak seperti itu. Inilah yang kemudian menyebabkan orang meremehkan kesakralan menikah.
Jadi masihkah kita berpikir bahwa mahar dalam akad nikah hanya sebuah ritualitas semata?Jika kita memang bersungguh-sungguh ingin menjadi suami yang qowam dan mampu menjaga kemulian wanita dan istri maka kita harus mengupayakan sekuat tenaga agar mahar kita mempunyai nilai dan manfaat besar bagi istri kita. Tetapi jika daya dan upaya kita terbatas maka hafalan Al-Qur'an adalah sesuatu yang bersifat emergency, dan itu adalah sejelek-jeleknya mahar.
Wallahu'alam bisshowab

Monday, May 26, 2008

FILOSOFI "1" DAN "0"

Tanpa terasa usia pernikahan kami sudah mencapai angka 5 tahun, kata orang usia pernikahan yang sudah di atas 3 tahun telah melewati masa kritis pertama dari pernikahan itu dan memasuki masa-masa kritis ke 2 sampai usia pernikahan 10 tahun, baru setelah itu proses stabilisasi pernikan. Syukur alhamdulillah selama 5 tahun ini kami bisa menjalani dengan bahagia dengan pernik-pernik kecil sebagai hiasan atas kehidupan rumah tangga kami. tetapi ada satu hal yang senantiasa saya ingat terus dan semakin hari saya semakin yakin atas hal itu yaitu filosofi "1" dan "0". Filosofi itu sangat menancap sekali dalam hidup saya, karena filosofi itu menjadi pegangan utama saya pada saat-saat saya melakukan ijthad untuk memilih seorang istri. Mungkin filosofi itu remeh bagi orang lain, tapi bagi saya filosofi itu memiliki sejuta makna, dan semakin lama saya mengarungi dunia kehidupan berkeluarga bersama istri saya semakin kuat keyakinan saya atas filosofi itu.

Apa filosofi "1" dan "0" itu ? filosofi ini pertama kali diberikan dan dijelaskan kepada saya oleh seseorang yang sangat berarti bagi hidup saya, karena orang itulah mindset hidup dan orientasi kehidupan saya berubah 180 derajat, dan bagi saya orang itu senantiasa memberikan inspirasi buat saya untuk tetap berkarya dan berkontribusi dalam membangun peradaban yang lebih baik. Filosofi "1" dan "0" dibangun dari salah satu hadist Rasulullah tentang bagaimana seseorang memilih seorang istri yaitu" seorang wanita dinikahi karena empat hal yaitu kecantikannya, keturunannya, hartanya, dan agamanya, maka nikahilah karena yang ke empat yaitu agamanya supaya kamu beruntung". Hadist tersebut memberikan arti bahwa hanya ada satu hal dari sekian banyak kriteria yang ada yang mempunyai nilai, kriteria lainnya tidak bernilai, apa itu? yaitu kriteria AGAMA. Jadi jika kita bermain nilai dalam matematika maka hanya satu kriteria calon istri yang bernilai 1 yaitu agamanya yang lainnya seperti cantik, kaya, bangsawan dll hanya bernilai 0. Kita pasti bisa berpikir bahwa lebih beruntung orang yang memiliki angka 1 daripada angka 0 meski jumlahnya banyak. Misal, bandingkan angka 000, dan 1, maka angka 1 menjadi cukup penting daripada angka 000. Atau angka 10 dengan 10000 maka kita pasti memilih angka 10000, lalu apa kaitannya dengan cara kita memilih istri...?

Jadi filosofi "1" dan "0" memberikan arah bahwa dalam memilih istri kita harus mengutamakan mendapatkan angka 1, yaitu agamanya, sedangkan yang lain hanyalah angka nol yang akan memperberat angka 1 tadi, dan angka nol tadi bisa kita cari selama kita menjalani kehidupan berkeluarga. Jadi misalkan kita dapat istri yang cantik, kaya, dari kalangan terhormat, pinter, cerdas tapi jika agamanya jelek maka semuanya tidak bernilai karena kita hanya memperbanyak angka nol saja atau dengan kata lain kita bukan menjadi orang yang beruntung karena mengumpulkan sesuatu yang tidak bernilai. Ini menjadi penting bagi siapapun yang akan menikah, karena persoalan yang berat dalam menikah adalah memilih calon istri, karena memilih calon istri itu membutuhkan energi yang besar sebab menggabungkan rasionalitas, emosi, kejernihan hati, dan instiusi.
Agama yang dimaksud dalam hadist dan filosofi tersebut bukan hanya "simbolisasi" tapi "subtantif" yaitu bagaimana mindset seorang perempuan dalam memandang dirinya sebagai makhluk Allah, memandang dirinya sebagai seorang istri, memandang dirinya sebagai seorang ibu, memandang dirinya sebagai seorang anak, memandang dirinya sebagai seorang menantu, memandang dirinya sebagai anggota masyarakat, dan memandang dirinya sebagai seorang da'i dalam prespektif Islam secara integral, artinya syariah dan nilai-nilai Islam yang akan membingkai dirinya dalam menjalankan semua peran yang melekat dari diri seorang istri. Karena nilai nilai agamalah yang akan bisa menderivasikan keunggulan-keunggulan yang lain dari seorang istri untuk meningkatkan nilainya dihadapan Allah, Rasul, suami, anak, orang tua, dan mertua serta masyarakat.
Filosofi "1" dan "0" juga memberikan nilai bahwa suami mempunyai peran dan tanggung jawab besar untuk menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki seorang istri sehingga menambah nilai dan harga diri seorang istri. Jadi suami tidak boleh sekedar menuntut istri untuk bisa "begini" dan bisa "begitu" tapi juga harus mampu menciptakan nilai "0" yang banyak setelah angka "1" untuk memperberat nilai dan harga diri seorang istri. Artinya setelah memperoleh angka "1" maka tugas suami berikutnya adalah memperbanyak angka "0" yang melekat dalam angka 1 tersebut seperti kata ust Anis Matta "biarkan kuncup mekar jadi bunga". Tugas suami adalah bagaimana mengupayakan "kuncup bunga" tersebut agar bisa tumbuh dan berkembang sehinga bisa menjadi "bunga" yang sempurna, bunga yang memiliki daya tarik bagi lingkungan sekitarnya, dan bunga yang mampu memperindah pohon dari bungan itu sendiri. Sebuah pohon bunga mawar tidak akan menarik perhatian seorangpun jika tidak memiliki bunga, tapi begitu pohon itu mampu memekarkan bunga mawar yang indah barulah pohon bunga mawar itu memiliki nilai. Begitu juga nilai dari seorang suami akan sangat ditentukan oleh nilai dan harga diri dari seorang istri, sehingga benar kata sebuah istilah bahwa "wanita berada dibalik kesuksesan pria".

Kenapa saya makin yakin akan filosofi itu?Ternyata ada banyak peristiwa dalam keluarga saya dan peristiwa di sekitar kehidupan saya (eksternal). Saya masih ingat sekali ada banyak temen saya yang pada saat mencari calon istri selalu saja ada kriteria-kriteria yang "aneh" dengan alasan yang tidak jelas (syar'i). Misal ada seorang yang menetapkan calon istrinya harus seorang perawat dengan alasan supaya saat sakit ada seseorang yang bisa merawat dengan penuh kesabaran dan kasih sayang karena profesi perawat identik dengan nilai-nilai kesabaran, atau ada yang menetapkan calon istrinya adalah seorang dokter agar bisa merawat anak dan dirinya saat sakit dengan benar dan baik. Tapi apa setelah mereka menemukan apa yang mereka cari..?ternyata yang dapat istri perawat saat sakit malah istrinya tidak bisa merawat dirinya karena kesibukan kerja di RS, bahkan ada istri yang berprofesi perawat tapi saat punya anak pertama dan anaknya sakit malah bingung bagaimana merawat anak bahkan lebih telaten dari suaminya yang bukan perawat, aneh kan...? Yang punya istri dokter juga begitu, sering merasa ditinggal untuk jaga di rumah sakit padahal saat itu dia sedang sakit, lalu dimana kenikmatan yang direncanakan sebelumnya..? ada juga yang mau cari istri seorang sarjana psikologi dengan alasan agar bisa mendidik anak-anaknya kelak dengan baik, tapi ternyata saat punya anak ilmu psikologi sang istri tidak mampu mencetak anak-anak yang tangguh dan mandiri sebagaimana yang dia idamkan saat mencari calon istri dulu, dan masih banyak cerita yang lain.

Dari cerita-cerita di atas saya mencoba untuk memutar ulang kenangan saya saat-saat mencari calon istri dan alasan-alasan kenapa saya memilih istri saya saat ini. Jujur saja, istri saya saat ini jauh dari kriteria saya, saya pinginnya istri saya seoarng sarjana ekonomi supaya bisa berdiskusi dengan saya, atau sarjana psikologi seperti alasan-alasan klasik temen-temen yang lain. Cuma saat saya menerima data istri saya ada pertanyaan besar dalam diri saya, yaitu apa sebenarnya yang saya cari ? ya..saya ingin mencari sesuatu yang hakiki sesuatu yang kekal sesuatu yang tak kan pernah lapuk dimakan zaman......akhirnya saya teringat dengan filosofi "1" dan "0" dan hadist Rasulullah tentang 4 sebab seorang wanita dinikahi. Akhirnya saya mencoba merenungi hadist dan filosofi tersebut, akhirnya mantap saya fokuskan untuk menilai agamanya, dan alhamdulillah sejak mulai proses "penyelidikan" sampai proses ta'aruf saya mendapatkan istri saya mempunyai nilai lebih dari sisi agamanya (semoga ini menjadi kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki). Saat itulah saya mantap untuk menikahi istri saya, dan saya teringat betul do'a yang saya ucapkan dari hati yang dalam dan tulus serta ikhlas setelah prosesi akad nikah, yang saya ucapkan dihadapan istri saya yaitu : " Ya Allah aku berlindung kepada-Mu atas segala keburukan-keburukan yang ada dalam dirinya dari segala fitnah, dan berkahilah kebaikan-kebaikan yang ada dalam dirinya". Inti dari do'a tersebut adalah saya memohon kepada Allah agar segala keburukan dan kekurangan yang ada dalam diri istri saya baik yang nampak dan tidak nampak tidak menjadi fitnah bagi diri saya dan istri saya, dan semoga segala kebaikan yang ada dalam diri istri saya, baik yang nampak maupun tidak nampak, menjadi sumber kebaikan bagi semuanya.

Setelah 5 tahun menikah kini, saya mampu memiliki istri seorang dokter meskipun dia bukan dokter, karena setiap kali saya sakit atau anak-anak sakit dia pasti hafal betul segala gejala penyakit yang biasa menimpa anggota keluarganya, dia hafal betul obat apa yang mesti diminum oleh anak atau suaminya yang sakit, dia memantau terus perkembangan kesehatan anak-anak, dia sudah menjadi "dokter keluarga" bagi saya dan anak-anak. Dia juga sekarang menjadi pendidik anak-anak dan ahli psikologi perkembangan anak-anak, dia sudah paham bagaimana pola pendidikan anak setiap masa usia mereka. Dia juga mampu menjadi juru masak yang handal bagi saya dan anak-anak. Dia juga kini menjadi perencana keuangan keluarga yang handal, dan menjadi menantu yang baik dihadapan oarang tua saya. Dia juga seorang pejuang tangguh dan mandiri, mujahidah sejati bagi saya. Saya kini merasa kaya karena memiliki seorang istri yang melebihi dari kriteria yang pernah saya impikan. Ingin mendapatkan istri yang seperti apa sebenarnya sangat tergantung pada seberapa besar usaha kita untuk menjadi "kuncup itu mekar jadi bunga".

Kini setelah 5 tahun menikah, filosofi "1" dan "0" bukan hanya sekedar memberikan inspirasi dan arah bagi saya saat memilih calon istri, tetapi juga memberikan inspirasi bagi saya untuk bisa menjadi suami yang qowam yang mampu menjaga kemulian serta memuliakan seorang istri. Kita tidak bisa hanya sekedar menuntut istri kita harus seperti ini atau seperti itu, tapi perlu upaya dan usaha keras dari kita untuk menjadikan istri kita menjadi apa yang kita inginkan dengan mengembangkan segala potensi kebaikan yang mereka miliki. Terima kasih Ya Allah atas segala nikmat-Mu, dan terima kasih istriku dan kekasih hatiku atas segala kebaikan yang engkau berikan.


Mahad Umar, akhir Mei 2008

Wednesday, March 12, 2008

ANTARA UANG BELANJA DAN UANG NAFKAH

Awalnya saya sulit untuk membedakan makna kata membelanjai istri dan menafkahi istri, karena bagi saya kedua kata itu sama maknanya, hanya beda pilihan kata dan keluasan maknanya saja. Bagi saya, membelanjai istri dan menafkahi istri sama-sama bermakna memberikan sejumlah uang kepada istri untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga secara periodik, sedangkan yang sedikit membedakan bahwa menafkahi itu tidak harus uang tetapi bisa bersifat non materi. Artinya jika kita telah memberikan uang belanja kepada istri kita berarti kita telah memberikan nafkah lahir (materi), itu pemahaman awal saya, mungkin juga pemahaman hampir seluruh para suami.
Tetapi, saya mulai bisa membedakan antara uang belanja dan uang nafkah saat saya melihat anggaran belanja rumah tangga seorang teman. Dari sekian item anggaran yang yang diberikan ke saya, ada satu item anggaran yang menarik bagi saya. Menarik karena hanya item itu yang satu-satunya berbeda dengan item-item dalam anggaran rumah tangga saya dan anggaran rumah tangga pada umumnya, yaitu item "nafkah istri". Apa bedanya pikir saya saat itu, ternyata menurut temen saya bahwa nafkah istri berarti suami memberikan sebagian hartanya kepada istri untuk dikelola dan digunakan untuk kepentingan pribadi istrinya, sedangkan belanja istri adalah memberikan harta (uang) untuk kebutuhan hidup suami, istri, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya.
Saya mencoba untuk memahami apa yang disampaikan temen saya itu. Akhirnya saya temukan kunci jawaban untuk membedakan antara uang belanja dan uang nafkah, yaitu kemulian wanita. Antara uang belanja dan uang nafkah muncul dua kewajiban berbeda yang harus dilaksanakan seorang suami. Uang belanja adalah kewajiban suami sebagai kepala keluarga untuk mencukupi kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya dengan layak, sedangkan uang nafkah adalah kewajiban suami sebagai seorang lelaki yang qowam untuk menjaga kemualian seorang wanita yang menjadi istrinya.
Dalam uang nafkah itu terkandung kemulian wanita dari seorang istri. Uang nafkah menjadikan istri bukan seorang "pengemis" dihadapan suaminya jika istri ingin memenuhi hajat pribadinya. Uang nafkah adalah hak yang harus diterima seorang istri, dan istri memiliki hak penuh untuk mengelola dan menggunakan untuk kepentingan pribadinya. Sehingga istri bisa memenuhi kebutuhan pribadinya dengan tetap terjaga kemulian dan kehormatannya tanpa harus "mengemis" dihadapan suami atau harus bekerja keras di luar rumah.
Jadi menurut saya, jika suami hanya memberikan uang belanja bulanan saja maka kewajibannya sebagai suami belum lengkap bahkan cenderung tidak menghargai istrinya, karena memberi uang belanja tanpa uang nafkah seakan menjadikan istri sebagai pembantu rumah tangga kita saja. Oleh karena itu meskipun istri kita bekerja, uang belanja dan uang nafkah tetap harus kita berikan kepada istri kita walaupun sedikit, karena keduanya merupakan hak istri dan kewajiban bagi suami. Jika sekarang para suami hanya masih memberikan uang belanja saja maka harus dilengkapi kewajibannya sebagai seorang suami yang qowam dengan memberikan uang nafkah walaupun sedikit dan meskipun istri kita bekerja. Karena dalam uang nafkah itu ada kemulian seorang wanita yang menjadi istri kita, dan ada ke-qowaman kita sebagai seorang suami dan laki-laki.