Tuesday, July 3, 2007

MEMILIH ISTRI DENGAN HATI

Memilih istri bagi para ikhwan yang akan menikah merupakan pekerjaan yang paling sulit dalam kehidupannya. Bahkan ada yang mengatakan memilih istri itu ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Kesulitan itu makin menjadi sulit tatkala kita menetapkan berbagai kriteria istri ideal apalagi kriteria itu menjadikan diri kita, bahkan orang yang membantu mencarikan istri, pusing untuk mencari seorang akhwat yang pas dengan kriteria itu, mungkin pusingnya lebih pusing daripada orang mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Ada seorang ikhwan yang hanya mau menikah dengan akhwat dokter saja hanya karena satu alasan sederhana yaitu biar ada yang merawat saat sakit. Adalagi yang mau menikah hanya dengan akhwat perawat karena biar ada yang perhatian saat sakit dan lebih telaten ngurus anak-anak. Lain lagi kalo ikhwan yang bisnis oriented yang hanya mau nikah dengan akhwat lulusan ekonomi alasannya supaya ada yang bantu ngurus bisnis. Bahkan ada yang mencari calon istri dengan kriteria fisik seperti putih kulitnya, tinggi badannya, harus dari suku tertentu, dan lain-lain, hanya karena ingin memperbaiki keturunan. Kriteria-kriteria itulah yang kadangkala membelenggu diri kita yang akhirnya kita merasa sulit memilih istri.
Begitu juga yang saya alami empat tahun silam, saat saya dalam proses mencari istri. Saya merasakan betapa membuat keputusan untuk menetapkan seseorang menjadi istri saya ternyata lebih sulit dan memerlukan waktu serta pikiran yang lebih besar dibandingkan saat saya membuat keputusan-keputusan bisnis dan organisasi. Memilih istri bagi saya saat itu seperti membuat keputusan besar yang memiliki resiko masa depan, bahkan saat itu saya menggunakan teori dan teknik pengambilan keputusan para pakar manajemen untuk memantapkan kriteria dan pilihan. Tapi ternyata tidak semudah yang saya pikirkan dan diteorikan para pakar itu.
Akhirnya saya tersadar dengan pesan Rasulullah untuk para pemuda yang akan menikah. Rasulullah berpesan " wanita itu dinikahi karena empat hal yaitu kekayaannya, keturunannya (nasab), kecantikannya, dan agamanya, jika engkau menikahi karena agamanya maka engkau akan beruntung". Setelah itu saya mulai merenungi tentang makna kebahagiaan dan kenikmatan, karena semua orang yang akan menikah pasti menginginkan dua hal tadi, kebahagiaan dan kenikmatan. Lalu, kebahagian dan kenikmatan seperti apakah yang ingin kita raih…?Apakah yang hanya sesaat di dunia atau sesuatu yang hakiki yang bisa dinikmati sampai dikehidupan akhirat kelak..? Akhirnya kutinggalkan semua teori tentang istri ideal dan nafsu serta rasio manusiawi dalam memilih istri untuk menuju kondisi hati "zero". Saat itulah saya mulai merombak presepsi dan mainstrem saya untuk memilih istri, saya tinggalkan kriteria-kriteria duniawi seperti gelar kesarjanaan, profesi, suku, fisik, dan sebagainya, dan saya gunakan ukuran agama sebagai mainstrem kriteria calon istri, saya harus dapatkan jaminan dan keyakinan bahwa calon istri saya baik agamanya.
Empat tahun berlalu sudah, dan saya bisa memahami pesan Rasulullah tadi. Karena agamanya lah saya nikahi istri saya saat ini, bukan karena profesi dia, bukan karena gelar kesarjananya dan juga bukan karena fisiknya. Dan saya merasa telah mendapatkan segala-galanya. Istri saya meskipun bukan dokter tapi ternyata mampu merawat saya dan anak-anak seperti dokter, dia mampu mengindentifikasi penyakit anggota keluarga dan obat apa yang pas buat keluarganya. Istri saya juga bisa bisnis kecil-kecilan meskipun dia bukan sarjana ekonomi, dan perhatiannya ke suami dan anak-anak melebihi perhatian seorang perawat meskipun dia bukan perawat. Karena agamanya lah, istriku bisa menjadi apapun yang menjadikan saya makin bersyukur kepada Allah dan makin mencintainya.
Saudaraku, pekerjaan memilih istri akan mudah kita lakukan jika kita gunakan mata hati kita. Kriteria agamalah yang menjadikan segala kebaikan akan terhimpun dalam diri istri kita. Memilih istri dengan agama sebagai mainstrem kriteria menjadikan diri kita – insyaallah – lebih muda memilih dan akan merasa kaya dan tentram karena segala kebaikan akan terhimpun dalam diri istri kita.

Berbuat Baik pada Orang Lain Berarti Berbuat Baik Pada Diri Sendiri

"Ah...akhirnya kereta Mutiara Selatan yang kutunggu hampir satu jam tiba juga...". Ini merupakan kereta rutin yang aku naiki setiap pergi ke Bandung, sebuah kereta kelas bisnis yang lumayan nyaman untuk perjalanan jauh. Meskipun hari ini adalah hari kerja tapi penumpangnya cukup ramai, seramai saat akhir pekan, maklum musim liburan sekolah. Penumpangnya pun rata-rata para ibu-ibu dengan anak-anak mereka, apalagi Bandung merupakan kota wisata yang pas buat liburan......
"Ah lumayan, dapat bangku yang kosong...". Kursi yang aku duduki memang masih kosong, sampai kereta meninggalkan stasiun Gubeng, kursi ini masih aku duduki sendirian."Lumayan, paling tidak bisa buat tidur nyaman selama perjalanan" pikirku. Meski aku tak yakin akan kosong terus, pasti nanti di stasiun lain akan ada penunmpangnya. Meski agak gaduh oleh suara serombongan ibu-ibu dan anak-anak di bangku depan, 2 deret di depan samping kanan ku, aku berupaya untuk tidur senyaman mungkin, seharian tadi capek ngurus surat ijin penelitian, dan persiapan bahan penelitian selama seminggu di Bandung nanti. Ah...sebentar saja mataku udah ngantuk, kulihat kereta udah keluar kota Surabaya, kursi sampingku masih kosong....
Tiba-tiba aku terbangun, karena kereta berhenti, dan banyak suara para pedagang yang menawarkan makanan. "Brem, brem, asli Madiun......brem Mas...?" "Mboten bu, matur nuwun", Wuih...udah sampai Madiun, berarti cukup lama tadi aku tertidur. "Permisi mas, ini tempat duduk saya" tiba-tiba ada seorang ibu dengan anaknya menyapaku "Oh silakan Bu". Oh ini rupanya penumpang pemilik nomer kursi di sampingku, dia bersama dua orang anak, satu kira-kira umur 8 tahunan, dan satunya udah umur 12 tahun, laki-laki semua. Ibu ini duduk di sampingku sedangkan anaknya yang besar duduk di kursi sebelah kursi kami, dan yang kecil duduk bersama rombongan ibu-ibu yang berada di 2 deret depan samping kanan. Beberapa menit kemudian kereta bergerak meninggalkan stasiun Madiun.
"Mas, Mas,...bisa minta bantuan nggak...?" tiba-tiba ibu disampingku tadi menepuk pundaku. "Ada apa ya Bu" jawabku sambil bertanya-tanya dalam hati tentang bantuan apa yang harus kuberikan padanya. "E....ini Mas, bisa tukar tempat duduk gak ya...?, anak saya yang kecil itu duduk di sana, saya kasian dia sendirian di sana, saya kepingin bisa kumpul sama anak-anak saya. Nomer duduk Mas bisa ditukar gak dengan nomer tempat duduk anak saya yang kecil di sana itu...?", "Wah.....gimana ya...?" batin ku. Sejurus aku melihat ke wajah anak ibu tadi yang duduk di kursi depan 2 deret dari kursiku, nampak dia merasa gelisah, kasian juga pikirku. Tapi....jika aku pindah ke sana berarti aku harus korbankan ketenanganku, sebab di kursi anak itu ada tiga orang ibu-ibu dengan 4 orang anak kecil yang ramai sekali sejak berangkat dari stasiun Gubeng tadi....gimana ya...."Eh....baiklah Bu, silakang anak ibu pindah kesini, biar saya disana" Jawabku, "Waduh terima kasih ya Mas, maaf lho mas, saya cuma kasian sama anak saya bila duduk sendirian di sana" ucap ibu tadi dengan wajah berbinar.
Akhirnya aku pindah ke kursi anak tadi, kuangkat semua tas ku ke kursi tadi. Wah benar juga dugaannya, ramainya minta ampun.....sepanjang jalan anak-anak itu main terus, bercanda, nangis, ada yang marah...."wuih....mana bisa tidur ini" pikirku. "Maaf ya mas, jika anak-anak mengganggu" tiba-tiba salah seorang ibu menyapa ku, "Ah gak papa kok Bu, namanya juga anak-anak, ini mau liburan ke Bandung Bu" jawabku dengan berupaya menyembuyikan kekesalanku. "Ya Mas, liburan ke rumah saudara di Bandung". Sepanjang perjalanan akau berupaya menikmati perjalanan dengan coba-coba tidur meski sering terbangun oleh suara anak-anak itu.
Pukul 03.00 pagi kereta berhenti di Stasiun Kroya. Pikirku berhentinya kereta saat itu hal yang wajar, maklum kereta bisnis harus berhenti jika ada kereta eksekutif yang mau lewat. Tapi, saya mulai curiga ketika berhentinya melebihi waktu biasanya, sudah hampir 45 menit kereta berhenti yang biasanya cuma 15 menit paling lama. Wah ada apa ini, akhirnya aku turun dari kereta. Ternyata banyak juga penumpang yang turun, akhirnya aku pergi ke kantor stasiun Kroya, dan disana udah banyak penumpang yang ingin tahu kenapa kereta berhenti lama. Dari yang aku dengar tadi petugas stasiun mengatakan bahwa kemungkinan kereta akan berhenti sampai disini saja, sebab jalur kereta ke Bandung terendam banjir sehingga tidak bisa dilintasi kereta. Maka sekitar jam 05.00 pagi ada pengumuman resmi dari petugas stasiun Kroya bahwa penumpang kereta Mutiara Selatan akan dievakuasi dengan bus kota menuju stasiun Cilacap karena jalur kereta terendam air, dan akan naik kereta ke Bandung melalu jalur utara. Artinya aku harus naik kereta ke Bandung dengan memutar dulu nih.....wah.....bisa molor 12 jam.
Jam 07.00 pagi, bus yang akan mengevakuasi penumpang sudah berdatangan, dan orang-orang saling berebut. "Ah...nanti aja dech, toh pasti dapat tempat duduk" pikirku. Namun, ketika aku mendengar serombongan penumpang lain bicara bahwa mereka harus cepat naik bus biar nanti bisa duduk di kereta karena nomer kursi di tiket udah gak berlaku lagi dalam kondisi seperti ini."Waduh benar juga ya kata mereka, bisa-bisa gak dapat tempat duduk nih kalau gak segera naik bus" cemasku. Akhirnya aku berupaya dapat naik bus segera. Akhirnya dapat bus juga meski merupakan rombongan terakhir.
Satu jam perjalanan dari Stasiun Kroya ke stasiun Cilacap, turun dari bus orang-orang sudah pada berebut naik kereta. Apalagi petugas mengumumkan bahwa 10 menit lagi kereta akan berangkat. Wah....benar juga, setelah kususuri gerbong yang ada semua kursi udah terisi semua. Apes deh....berdiri selama 12 jam nih....karena semua penumpang kereta "spesial" ini turun Bandung semua. Ah, akhirnya kuputuskan duduk di dekat pintu persambungan gerbong nomer dua dan satu. "Mas,Mas....sini Mas...." tiba-tiba ada panggilan ibu-ibu dan anak-anak ke arahku....Oh ternyata itu ibu-ibu rombongan temen sekursiku tadi. "Eh ya....saya cari-cari lho Mas tadi, mana Mas tadi, saya bilang ke anak saya jika lihat Mas saya minta untuk ngajak ke sini, Ayo Mas duduk di sini, udah saya sisihkan satu kursi buat Mas" ternyata ibu yang saya bantu dengan nukar kursi saya dengan anaknya juga memanggil saya. "Terima kasih banyak Bu" sahutku. Akhirnya....bisa duduk juga. Setelah itu saya kenalan dengan anak-anak dan ibu itu, sebab sejak dari Madiun kemarin belum kenalan. Selama perjalanan kami ngobrol banyak...
Ternyata Ibu tadi sejak dapat tempat duduk selalu mikirin saya, karena dia teringat akan kebaikan saya mau nukar tempat dengan anaknya. Setiap kali ada orang yang mau duduk dikursi itu, Ibu tadi bilang sudah ada orangnya.....Wah...sejak peristiwa itu saya ambil hikmahnya bahwa setiap kebaikan yang kita berikan kepada orang lain akan membawa kebaikan pada diri kita. Coba jika saya gak mau diminta untuk nukar tempat duduk saya, mungkin ibu tadi gak akan peduli denganku. Sejak itulah aku senantiasa termotivasi untuk bisa memberikan bantuan kepada orang lain. Benar kata Rasulullah "Barangsiapa yang membantu meringankan urusan saudaranya, maka Allah akan meringankan urusannya"