Wednesday, May 28, 2008

MAKNA MAHAR

Mahar merupakan salah satu syarat sah sebuah akad nikah yang pada zaman modern saat ini mulai mengalami pergeseran nilai. Pemberian mahar pada saat ini hanya dianggap sebagai salah satu bagian dalam ritualitas akad nikah sehingga tujuan syari (al-maqosid syariah) dari kewajiban mahar tereduksi oleh nilai-nilai lain selain Islam. Sehingga wajar jika pemberian mahar atau bentuk mahar yang diberikan atau diminta saat ini aneh-aneh bentuk dan nilainya. Ada mahar yang berupa sejumlah uang dg nilai sesuai dengan tanggal nikah, ada juga mahar berupa kumpulan uang yang dibentuk menyerupai benda tertentu. Bahkan ada mahar dalam bentuk skripsi, ijazah kelulusan, dan lain sebagainya. Mahar yang paling sederhana dan paling umum di masyarakat kita adalah mahar seperangkat sholat dan al-qur'an yang telah menjadi tradisi turun temurun, entah darimana asalanya yang jelas mahar tanpa dua benda tersebut dirasa kurang "afdhol". Dan yang sering terjadi salah kaprah juga terjadi dikalangan para aktivis da'wah, ada sebuah kesan bahwa jika maharnya berupa hafalan satu surat atau beberapa ayat Al-Qur'an seakan-akan itu sesuatu yang hebat, sesuatu yang sangat berharga, dan seakan-akan menjadi bentuk mahar yang paling baik, padahal asumsi dan kesan tersebut sama saja menjadikan nilai dan makna mahar dari sisi Al-Maqosid syariah menjadi hilang.
Mari kita tengok peristiwa-peristiwa pernikahan Rasulullah dan para sahabat, utamanya bentuk maharnya seperti apa. Rasulullah pada saat menikahi Khadijah maharnya adalah puluhan unta, yaitu kurang lebih 40 unta (bisa dicek jumlah tepatnya dalam sirah) dan sejumlah emas, yang jika diuangkan dalam masa kini mahar Rasulullah saat menikahi khadijah kurang lebih 1/2 milyar. Ada juga sahabiah hindun yang akan menikah dg abu sofyan meminta mahar dg keislaman abu sofyan. Bahkan ada seorang sahabat yang menikah hanya memberi mahar bacaan Al-Qur'an karena saat itu dia tidak memiliki apa-apa. Memang bentuk dan rupa mahar tidak ada ketentuan yang jelas dalam syariat Islam, cuman Rasulullah memberikan rambu-rambu bahwa mahar itu harus sesuatu yang mempunyai nilai bagi mempelai putri walau itu berupa cincin dari besi, dan tidak memberatkan bagi pihak laki-laki. Dan pada saat ada sahabat yang ingin menikah tapi tidak mampu memberikan mahar maka Rasulullah menyuruh sahabat tadi menikah dg mahar hafalan Al-Qur'an yang dia miliki. Bahkan beberapa ulama fiqih saat ini menyatakan mahar yang diberikan itu harus sesuatu yang produktif bukan hanya bernilai saja.
Tujuan pemberian mahar dalam prespektif al-maqosid syariah adalah untuk menjaga kemulian wanita. Mungkin tujuan ini sekilas tidak nyambung dengan pemberian mahar, bahkan para orientalis menyatakan mahar itu melecehkan kaum wanita karena wanita diibaratkan dengan barang dagangan. Para orientalis menganggap pemberian mahar ibarat proses barter dalam perdagangan. Itulah pikiran picik dari para orientalis. Memang manfaat mahar untuk menjaga kemulian wanita pada saat menikah tidak terasa, nuansa dan rasa yang ada hanyalah nuansa untuk membandingkan nilai mahar dengan nilai wanita. Sehingga wajar kemudian masyarakat saat ini menjadikan mahar hanya sebatas ritualitas dalam akad nikah yaitu hanya sekedar menggugurkan suatu kewajiban agar dapat terlaksananya suatu hukum, karena mereka sudah "teracuni" oleh pemikiran para orientalis tersebut.
Mahar yang diterima oleh seorang istri akan menjadi harta pribadi milik sang istri, sehingga istri mempunyai hak penuh untuk mengelolanya tampa harus tunduk atau dibawah perintah suami. Suami tidak boleh menggunakan harta yang berasal dari mahar tersebut tampa se-ijin istri. Mulai dari pemahaman atas kedudukan mahar dalam masalah status harta maka akan menjadi jalan masuk kita untuk memahami bahwa mahar adalah untuk menjaga kemulian wanita. Jika mahar yang menjadi harta milik wanita maka bisa dibayangkan jika maharnya adalah harta yang produktif seperti sapi, kerbau, tanah pertanian, mobil, uang, emas dll maka harta tersebut akan dapat digunakan oleh istri untuk melakukan investasi dan usaha yang akan menjamin kebutuhannya sehingga dia tidak perlu lagi bekerja di luar, dan tidak perlu lagi untuk "mengemis" uang nafkah ke suami. Sehingga kemandiriannya sebagai wanita akan terwujud, dan kemualiannya akan terjaga karena akan banyak terhindar dari kasus KDRT yang sering terjadi akibat lemahnya kedudukan wanita dalam rumah tangga. Dan yang lebih terasa lagi manfaatnya adalah jika suaminya meninggal dan meninggalkan beberapa orang anak, maka selain harta warisan sang suami, harta dari mahar pun akan mampu menjaga kemualian seorang wanita pada saat dia berstatus janda. Dengan harta mahar yang besar dan bernilai serta produktif maka seorang janda tidak akan kebingungan untuk memikirkan nafkah dan biaya hidup untuk diri dan anak-anaknya, sehingga dia tidak perlu "mengemis" ke orang lain. Coba bayangkan jika mahar kita hanya seperangkat alat sholat dan Al-Qur'an, atau hanya hafalan hadist dan ayat Al-Qur'an, atau sejumlah uang dan benda-benda yang tidak jelas nilainya, maka mahar itu tidak bisa menjadi harta bagi istri kita yang bisa menjaga kemulian dia sebagai wanita pada saat menjadi istri atau pun saat dia menjadi janda. Itulah makna dan maksud kenapa mahar itu menjadi salah satu syarat syahnya akad nikah. Semakin besar nilai manfaat dan nominal dari mahar yang kita berikan kepada istri kita menunjukkan semakin tinggi rasa tanggung jawab kita sebagai suami untuk menjaga kemulian seorang wanita dan istri sehingga kita memang pantas untuk bisa menjadi lelaki yang qowam.
Maksud lain dari mahar adalah untuk menjaga nilai-nilai dari pernikahan itu sendiri. Bayangkan jika mahar itu hanya seperangkat alat sholat dan Al-Qur'an saja, atau hanya hafalan ayat Al-Qur'an atau hadist maka manusia akan cenderung untuk melecehkan nilai sakral dari pernikahan itu sendiri. Yaitu dengan mudahnya orang akan melakukan kawin cerai karena rendahnya nilai mahar tadi. Jika nilai maharnya besar maka menunjukkan keseriusan seseorang untuk menikah dan membangun rumah tangga yang islami. Patut kita cermati bahwa mahar dalam nilai yang rendah sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa sahabat itu hanyalah "Rukhsah" yang sifatnya meringankan agar hukum menikah bisa dilaksanakan, artinya mahar dalam bentuk hafalan Qur'an dalam konteks para sahabat tersebut bersifat "emergency". Lalu kenapa sekarang masyarakat banyak mengambil sesuatu untuk menjadi mahar yang bersifat "emergency"..? Seharusnya mahar seperangkat alat sholat dan Al-Qur'an hanyalah dibolehkan untuk mereka yang miskin dan tidak mampu, tapi kenyataannya artis, pejabat, pengusaha, dll jika menikah maharnya banyak seperti itu. Inilah yang kemudian menyebabkan orang meremehkan kesakralan menikah.
Jadi masihkah kita berpikir bahwa mahar dalam akad nikah hanya sebuah ritualitas semata?Jika kita memang bersungguh-sungguh ingin menjadi suami yang qowam dan mampu menjaga kemulian wanita dan istri maka kita harus mengupayakan sekuat tenaga agar mahar kita mempunyai nilai dan manfaat besar bagi istri kita. Tetapi jika daya dan upaya kita terbatas maka hafalan Al-Qur'an adalah sesuatu yang bersifat emergency, dan itu adalah sejelek-jeleknya mahar.
Wallahu'alam bisshowab

Monday, May 26, 2008

FILOSOFI "1" DAN "0"

Tanpa terasa usia pernikahan kami sudah mencapai angka 5 tahun, kata orang usia pernikahan yang sudah di atas 3 tahun telah melewati masa kritis pertama dari pernikahan itu dan memasuki masa-masa kritis ke 2 sampai usia pernikahan 10 tahun, baru setelah itu proses stabilisasi pernikan. Syukur alhamdulillah selama 5 tahun ini kami bisa menjalani dengan bahagia dengan pernik-pernik kecil sebagai hiasan atas kehidupan rumah tangga kami. tetapi ada satu hal yang senantiasa saya ingat terus dan semakin hari saya semakin yakin atas hal itu yaitu filosofi "1" dan "0". Filosofi itu sangat menancap sekali dalam hidup saya, karena filosofi itu menjadi pegangan utama saya pada saat-saat saya melakukan ijthad untuk memilih seorang istri. Mungkin filosofi itu remeh bagi orang lain, tapi bagi saya filosofi itu memiliki sejuta makna, dan semakin lama saya mengarungi dunia kehidupan berkeluarga bersama istri saya semakin kuat keyakinan saya atas filosofi itu.

Apa filosofi "1" dan "0" itu ? filosofi ini pertama kali diberikan dan dijelaskan kepada saya oleh seseorang yang sangat berarti bagi hidup saya, karena orang itulah mindset hidup dan orientasi kehidupan saya berubah 180 derajat, dan bagi saya orang itu senantiasa memberikan inspirasi buat saya untuk tetap berkarya dan berkontribusi dalam membangun peradaban yang lebih baik. Filosofi "1" dan "0" dibangun dari salah satu hadist Rasulullah tentang bagaimana seseorang memilih seorang istri yaitu" seorang wanita dinikahi karena empat hal yaitu kecantikannya, keturunannya, hartanya, dan agamanya, maka nikahilah karena yang ke empat yaitu agamanya supaya kamu beruntung". Hadist tersebut memberikan arti bahwa hanya ada satu hal dari sekian banyak kriteria yang ada yang mempunyai nilai, kriteria lainnya tidak bernilai, apa itu? yaitu kriteria AGAMA. Jadi jika kita bermain nilai dalam matematika maka hanya satu kriteria calon istri yang bernilai 1 yaitu agamanya yang lainnya seperti cantik, kaya, bangsawan dll hanya bernilai 0. Kita pasti bisa berpikir bahwa lebih beruntung orang yang memiliki angka 1 daripada angka 0 meski jumlahnya banyak. Misal, bandingkan angka 000, dan 1, maka angka 1 menjadi cukup penting daripada angka 000. Atau angka 10 dengan 10000 maka kita pasti memilih angka 10000, lalu apa kaitannya dengan cara kita memilih istri...?

Jadi filosofi "1" dan "0" memberikan arah bahwa dalam memilih istri kita harus mengutamakan mendapatkan angka 1, yaitu agamanya, sedangkan yang lain hanyalah angka nol yang akan memperberat angka 1 tadi, dan angka nol tadi bisa kita cari selama kita menjalani kehidupan berkeluarga. Jadi misalkan kita dapat istri yang cantik, kaya, dari kalangan terhormat, pinter, cerdas tapi jika agamanya jelek maka semuanya tidak bernilai karena kita hanya memperbanyak angka nol saja atau dengan kata lain kita bukan menjadi orang yang beruntung karena mengumpulkan sesuatu yang tidak bernilai. Ini menjadi penting bagi siapapun yang akan menikah, karena persoalan yang berat dalam menikah adalah memilih calon istri, karena memilih calon istri itu membutuhkan energi yang besar sebab menggabungkan rasionalitas, emosi, kejernihan hati, dan instiusi.
Agama yang dimaksud dalam hadist dan filosofi tersebut bukan hanya "simbolisasi" tapi "subtantif" yaitu bagaimana mindset seorang perempuan dalam memandang dirinya sebagai makhluk Allah, memandang dirinya sebagai seorang istri, memandang dirinya sebagai seorang ibu, memandang dirinya sebagai seorang anak, memandang dirinya sebagai seorang menantu, memandang dirinya sebagai anggota masyarakat, dan memandang dirinya sebagai seorang da'i dalam prespektif Islam secara integral, artinya syariah dan nilai-nilai Islam yang akan membingkai dirinya dalam menjalankan semua peran yang melekat dari diri seorang istri. Karena nilai nilai agamalah yang akan bisa menderivasikan keunggulan-keunggulan yang lain dari seorang istri untuk meningkatkan nilainya dihadapan Allah, Rasul, suami, anak, orang tua, dan mertua serta masyarakat.
Filosofi "1" dan "0" juga memberikan nilai bahwa suami mempunyai peran dan tanggung jawab besar untuk menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki seorang istri sehingga menambah nilai dan harga diri seorang istri. Jadi suami tidak boleh sekedar menuntut istri untuk bisa "begini" dan bisa "begitu" tapi juga harus mampu menciptakan nilai "0" yang banyak setelah angka "1" untuk memperberat nilai dan harga diri seorang istri. Artinya setelah memperoleh angka "1" maka tugas suami berikutnya adalah memperbanyak angka "0" yang melekat dalam angka 1 tersebut seperti kata ust Anis Matta "biarkan kuncup mekar jadi bunga". Tugas suami adalah bagaimana mengupayakan "kuncup bunga" tersebut agar bisa tumbuh dan berkembang sehinga bisa menjadi "bunga" yang sempurna, bunga yang memiliki daya tarik bagi lingkungan sekitarnya, dan bunga yang mampu memperindah pohon dari bungan itu sendiri. Sebuah pohon bunga mawar tidak akan menarik perhatian seorangpun jika tidak memiliki bunga, tapi begitu pohon itu mampu memekarkan bunga mawar yang indah barulah pohon bunga mawar itu memiliki nilai. Begitu juga nilai dari seorang suami akan sangat ditentukan oleh nilai dan harga diri dari seorang istri, sehingga benar kata sebuah istilah bahwa "wanita berada dibalik kesuksesan pria".

Kenapa saya makin yakin akan filosofi itu?Ternyata ada banyak peristiwa dalam keluarga saya dan peristiwa di sekitar kehidupan saya (eksternal). Saya masih ingat sekali ada banyak temen saya yang pada saat mencari calon istri selalu saja ada kriteria-kriteria yang "aneh" dengan alasan yang tidak jelas (syar'i). Misal ada seorang yang menetapkan calon istrinya harus seorang perawat dengan alasan supaya saat sakit ada seseorang yang bisa merawat dengan penuh kesabaran dan kasih sayang karena profesi perawat identik dengan nilai-nilai kesabaran, atau ada yang menetapkan calon istrinya adalah seorang dokter agar bisa merawat anak dan dirinya saat sakit dengan benar dan baik. Tapi apa setelah mereka menemukan apa yang mereka cari..?ternyata yang dapat istri perawat saat sakit malah istrinya tidak bisa merawat dirinya karena kesibukan kerja di RS, bahkan ada istri yang berprofesi perawat tapi saat punya anak pertama dan anaknya sakit malah bingung bagaimana merawat anak bahkan lebih telaten dari suaminya yang bukan perawat, aneh kan...? Yang punya istri dokter juga begitu, sering merasa ditinggal untuk jaga di rumah sakit padahal saat itu dia sedang sakit, lalu dimana kenikmatan yang direncanakan sebelumnya..? ada juga yang mau cari istri seorang sarjana psikologi dengan alasan agar bisa mendidik anak-anaknya kelak dengan baik, tapi ternyata saat punya anak ilmu psikologi sang istri tidak mampu mencetak anak-anak yang tangguh dan mandiri sebagaimana yang dia idamkan saat mencari calon istri dulu, dan masih banyak cerita yang lain.

Dari cerita-cerita di atas saya mencoba untuk memutar ulang kenangan saya saat-saat mencari calon istri dan alasan-alasan kenapa saya memilih istri saya saat ini. Jujur saja, istri saya saat ini jauh dari kriteria saya, saya pinginnya istri saya seoarng sarjana ekonomi supaya bisa berdiskusi dengan saya, atau sarjana psikologi seperti alasan-alasan klasik temen-temen yang lain. Cuma saat saya menerima data istri saya ada pertanyaan besar dalam diri saya, yaitu apa sebenarnya yang saya cari ? ya..saya ingin mencari sesuatu yang hakiki sesuatu yang kekal sesuatu yang tak kan pernah lapuk dimakan zaman......akhirnya saya teringat dengan filosofi "1" dan "0" dan hadist Rasulullah tentang 4 sebab seorang wanita dinikahi. Akhirnya saya mencoba merenungi hadist dan filosofi tersebut, akhirnya mantap saya fokuskan untuk menilai agamanya, dan alhamdulillah sejak mulai proses "penyelidikan" sampai proses ta'aruf saya mendapatkan istri saya mempunyai nilai lebih dari sisi agamanya (semoga ini menjadi kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki). Saat itulah saya mantap untuk menikahi istri saya, dan saya teringat betul do'a yang saya ucapkan dari hati yang dalam dan tulus serta ikhlas setelah prosesi akad nikah, yang saya ucapkan dihadapan istri saya yaitu : " Ya Allah aku berlindung kepada-Mu atas segala keburukan-keburukan yang ada dalam dirinya dari segala fitnah, dan berkahilah kebaikan-kebaikan yang ada dalam dirinya". Inti dari do'a tersebut adalah saya memohon kepada Allah agar segala keburukan dan kekurangan yang ada dalam diri istri saya baik yang nampak dan tidak nampak tidak menjadi fitnah bagi diri saya dan istri saya, dan semoga segala kebaikan yang ada dalam diri istri saya, baik yang nampak maupun tidak nampak, menjadi sumber kebaikan bagi semuanya.

Setelah 5 tahun menikah kini, saya mampu memiliki istri seorang dokter meskipun dia bukan dokter, karena setiap kali saya sakit atau anak-anak sakit dia pasti hafal betul segala gejala penyakit yang biasa menimpa anggota keluarganya, dia hafal betul obat apa yang mesti diminum oleh anak atau suaminya yang sakit, dia memantau terus perkembangan kesehatan anak-anak, dia sudah menjadi "dokter keluarga" bagi saya dan anak-anak. Dia juga sekarang menjadi pendidik anak-anak dan ahli psikologi perkembangan anak-anak, dia sudah paham bagaimana pola pendidikan anak setiap masa usia mereka. Dia juga mampu menjadi juru masak yang handal bagi saya dan anak-anak. Dia juga kini menjadi perencana keuangan keluarga yang handal, dan menjadi menantu yang baik dihadapan oarang tua saya. Dia juga seorang pejuang tangguh dan mandiri, mujahidah sejati bagi saya. Saya kini merasa kaya karena memiliki seorang istri yang melebihi dari kriteria yang pernah saya impikan. Ingin mendapatkan istri yang seperti apa sebenarnya sangat tergantung pada seberapa besar usaha kita untuk menjadi "kuncup itu mekar jadi bunga".

Kini setelah 5 tahun menikah, filosofi "1" dan "0" bukan hanya sekedar memberikan inspirasi dan arah bagi saya saat memilih calon istri, tetapi juga memberikan inspirasi bagi saya untuk bisa menjadi suami yang qowam yang mampu menjaga kemulian serta memuliakan seorang istri. Kita tidak bisa hanya sekedar menuntut istri kita harus seperti ini atau seperti itu, tapi perlu upaya dan usaha keras dari kita untuk menjadikan istri kita menjadi apa yang kita inginkan dengan mengembangkan segala potensi kebaikan yang mereka miliki. Terima kasih Ya Allah atas segala nikmat-Mu, dan terima kasih istriku dan kekasih hatiku atas segala kebaikan yang engkau berikan.


Mahad Umar, akhir Mei 2008