Wednesday, December 10, 2008

ANTARA KEPALA KELUARGA DAN KEPALA RUMAH TANGGA

Sekilas tidak ada bedanya antara kepala rumah tangga dan kepala keluarga jika kita lihat dari sisi makna bahasa. Masyarakat pada umumnya sudah mafhum jika disebut kepala rumah tangga pasti sama makna dengan kepala keluarga, artinya kedua kata itu merupakan sinonim kata. Apa benar kepala rumah tangga itu sama dengan kepala keluarga..? Jika memiliki arti yang sama apakah juga merujuk pada orang yang sama ? Jika sama maka dimanakah letak pembagian tugas antara suami dan istri dalam kehidupan berumah tangga..?
Mari kita simak salah satu hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari "Rasulullah bersabda: setiap kalian adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang amir adalah pemimpin atas rakyatnya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin di keluarganya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan anaknya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Setiap kalian ada pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya". Jika kita simak secara lebih dalam kandungan hadist tadi maka kita mendapatkan bahwa antara kepala keluarga dan kepala rumah tangga merupakan dua makna dan dua posisi yang berbeda dan disandang oleh dua orang yang berbeda. Jika merujuk pada hadist tersebut maka suami merupakan kepala keluarga yang bertanggung jawab atas keseluruhan anggota keluarga yang ada, sedangkan istri adalah kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas urusan rumah tangga.
Jadi sebenarnya antara kepala keluarga dan kepala rumah tangga adalah dua makna dan dua fungsi yang berbeda. Kepala keluarga merupakan peran dari seorang suami yang bertanggung jawab atas keseluruhan keluarga, sedangkan kepala keluarga merupakan posisi yang difungsikan oleh seorang istri untuk mengurus masalah-masalah rumah tangga. Perbedaan kedudukan tersebut ditegaskan dalam surat At Tahrim ayat 6 " Hai orang-orang yang beriman lindungilah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..." Suami sebagai kepala keluarga memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan dan melindungi keseluruhan anggota keluarga dari api neraka, artinya suami sebagai kepala keluarga merupakan orang yang mengarahkan dan memimpin seluruh anggota keluarga untuk beriman kepada Allah. Sedangkan istri sebagai kepala rumah tangga merupakan "ratu rumah tangga" yang mempunyai tanggung jawab untuk membangun dan mengelola suasana rumah tangga yang nyaman dan aman serta kondusif untuk menumbuhkan rasa kasih sayang sesama anggota keluarga dan menumbuhkan suasana yang kondusif untuk tumbuhnya iman dari setiap anggota keluarga yang akan diperankan oleh sosok ayah (suami).
JIka kita tengok kehidupan keluarga di Jepang mereka telah mengaplikasikan konsep kepala rumah tangga dan kepala keluarga yang sumbernya dari Islam itu. Di masyarakat Jepang, ibu merupakan kepala rumah tangga yang wajib dihormati oleh setiap anggota keluarga dalam menjalankan wewenangnya mengatur rumah tangga. Jika seorang anak mau tidur atau pun keluar rumah mereka minta ijin ke ibu sebagai kepala rumah tangga, ataupun mereka mau mandi anak-anak akan meminta ijin kepada ibu mereka. Bahkan pembelanjaan uang gaji suaminya yang mengatur adalah istrinya, maksudnya istri yang membuat anggaran dan alokasi kebutuhan rumah tangga secara umum, anggaran untuk anak-anak, dan anggaran untuk suaminya. Semua urusan dan keputusan yang berkaitan dengan masalah pengelolaan kebutuhan rumah menjadi tanggung jawab penuh dari seorang ibu. Tetapi untuk pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan keluarga secara umum maka fungsi tersebut berada di tangan suami.
Karena sebagai kepala keluarga maka suami harus mampu membingkai seluruh kehidupan keluraganya dengan keimanan kepada Allah, sedangkan istri adalah yang membangun isi atas bingkai tadi. Sehingga dengan pembedaaan peran dan fungsi bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah sebagai kepala rumah tangga maka akan bisa diciptakan sinergisitas atas keduanya, dan setiap pihak akan bisa saling menghormati peran dan tanggung jawabnya sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Sebagai suami kita harus menghormati kedudukan istri kita sebagai kepala rumah tangga yang memiliki wewenang penuh untuk mengelola kehidupan rumah tangga, sedangkan suami sebagai pemimpin keluarga yang akan memberikan bingkai dan arah kemana biduk keluarga akan di arahkan.

Tuesday, December 9, 2008

MENENTUKAN MOMENTUM MENIKAH

Masalah besar bagi para bujangan adalah menentukan kapan waktu yang pas untuk menikah. Memang jika kita bertanya pada orang-orang yang telah menikah maka pasti jawabannya sulit untuk didefinisikan, maksudnya alasan mereka memutuskan menikah saat itu tidak bisa dijawab secara terstruktur. Sedangkan di sisi lain banyak para bujangan yang sampai saat ini belum menikah karena terbelunggu oleh indikator-indikator yang menjadikan mereka terbelenggu tidak bisa menikah.
Jika kita melihat realita yang ada di kalangan para bujangan ada dua sisi ekstrem yang saling bertolak belakang. Sisi yang satu adalah kelompok para bujangan yang memiliki semangat menikah cukup tinggi, dalam benak mereka menikah adalah sesuatu yang indah, sesuatu yang menjanjikan kebahagian dalam hidup. Asumsi dan bayangan mereka tidaklah salah, cuman seringkali karena kurang proporsional dalam memandang pernikahan menjadikan mereka berpandangan simplikasi atas pernikahan, yang jika tidak diimbangai dengan pemahaman dan kesiapan mental yang baik akan menjadikan bahtera rumah tangga menjadi goyang karena tidak siap menghadapi suatu hal yang diluar dugaan sebelumnya. Sisi yang lain adalah kelompok para bujangan yang terlalu memandang bahwa pernikahan adalah sesuatu yang menyeramkan dan menakutkan, menikah adalah suatu pekerjaan berat. Dalam benak mereka dalam menikah dan hidup berumah tangga banyak terjadi masalah, karena itu mereka harus mempersiapkan diri secara matang agar tidak terjebak dalam masalah-masalah rumah tangga. Asumsi mereka bahwa kehidupan rumah tangga akan ada masalah adalah bukan hal yang salah, kesalahan mereka adalah terlalu menjadikan bahwa menikah adalah pekerjaan yang sulit, sehingga mendorong mereka membuat ukuran-ukuran kapan mereka harus menikah yang sulit dan lama dalam mencapainya, sehingga mereka lama tidak menikah-menikah karena merasa belum cukup bekal untuk menikah.
Sebenarnya, ada dua ukuran utama yang menjadi dasar bagi setiap pemuda Islam untuk menentukan kapan waktu dan momentum yang tepat untuk menikah supaya tidak terjebak dalam dua sisi yang ekstrem tadi. Ukuran pertama adalah ukuran usia. Usia yang paling tepat untuk menikah adalah usia 24 tahun sampai dengan 28 tahun. Dalam range usia tersebut semangat dan tekad untuk menikah dari seseorang akan mengalami titik equilibrium. Artinya pada usia-usia tersebut seseorang akan bisa berpikir secara bijak antara perasaan untuk menyegerakan menikah dan kedewasaan seseorang dalam memandang pernikahan itu. Artinya dalam range usia tersebut merupakan usia dimana seseorang memiliki semangat untuk menikah dan memiliki pandangan yang seimbang terhadap pernikahan dan kehidupan berumah tangga. Sebab begitu seseorang memasuki usia 29 sampai 35 tahun maka orang tersebut akan hilang semangat untuk menikah dan semakin jelek presepsinya terhadap menikah, idealismenya mulai luntur sehingga dalam mencari pasangan pun asal dapat dsb. Sedangkan jika usia di bawah 24 tahun maka nafsu dan semangat untuk menikah lebih dominan sehingga seringkali mengabaikan kesiapan mental dalam menghadapai persoalan hidup setelah menikah.
Ukuran kedua yang bisa dijadikan momentum seseorang menikah adalah hukum nikah yang dikenakan pada diri seseorang. Hukum nikah yang dikenakan pada diri seseorang bisa bersifat wajib, sunnah, mubah, dan haram. Seseorang wajib menikah jika dengan menikah tersebut menjadikan dia terhindar dari perbuatan dosa besar setelah segala macam cara untuk menghindari dosa besar itu tidak bisa mencegahnya dari perbuatan dosa besar maka menikah adalah wajib bagi orang tersebut. Jika ada seorang pemuda yang telah berupaya menjaga dirinya dari dosa nafsu seks (birahi) dengan cara berpuasa sunnah ternyata tetap tidak bisa menghindarikan diri dari dosa maka dia wajib untuk menikah. Tetapi yang perlu dicatat bahwa katagori wajib ini jika segala upaya telah dilakukan baru kemudian dapat disimpulkan wajib menikah bagi dirinya. Karena seringkali seseorang karena sangat kepingin nikah padahal dia masih bisa mencegah berbuat dosa dengan cara yang lain menjadikan hukum wajib menjadi salah satu alasan dia untuk menyegerakan menikah, padahal secara realita mungkin dia belum masuk katagori wajib. Karena itu jika seorang pemuda sudah berpenghasilan tetapi sering melakukan perbuatan dosa atau tidak mampu menjaga diri dari perbuatan dosa maka hukumnya wajib baginya untuk menikah. Seseorang masuk dalam kataqori sunnah dalam menikah jika secara realita dia bisa menjaga diri dari perbuatan dosa tetapi secara kondisi dia telah memiliki bekal yang cukup untuk menikah, seperti dia sudah bisa berpenghasilan dan secara umur tidak ada masalah maka akan mendatangkan kebaikan jika dia menikah segera. Dan seseorang akan masuk dalam katagori mubah jika dia mampu menjaga diri dari perbuatan dosa dan secara umur sudah cukup serta tidak ada hal-hal lain yang menjadikan perbedaan antara menyegerakan atau menunda menikah maka dia masuk dalam katogori mubah. Dan seseorang bisa masuk dalam katagori haram untuk menikah jika menikahnya dia akan membawa keburukan baik bagi dirinya maupun orang yang akan dinikahi.
Jadi dengan mengukur berapa umur anda sekrang saat ini dan bagaimana kondisi anda saat ini apakah termasuk katagori wajib, sunnah, mubah bahkan haram untuk menikah akan dapat menentukan kapan momentum yang tepat untuk melaksankan pernikahan. Setiap orang memiliki kondisi yang berbeda-beda, tetapi dengan ukuran umur dan sebab-sebab jatuhnya hukum menikah bagi seseorang akan bisa mengukur kapan momentum yang tepat untuk menikah, jika masuk dalam katagori wajib maka saat ini juga anda harus segera menikah, jika dalam kataqori sunnah maka janganlah menunda terlalu lama, jika masuk dalam katagori mubah maka anda dapat menunda beberapa lama sampai anda masuk dalam katagori sunnah dan wajib. Dan jika anda masuk katagori haram maka jangan anda lakukan pernikahan itu. Jadi kapan momentum menikah itu akan anda tentukan...?